Refleksi Random

April 27, 2022



April- Kali ketiga tidak merayakan hari raya Idulfitri bersama Ibu. Bukanlah hal yang tak biasa lagi, berada jauh darinya ketika kuliah, cukup membuatku menemukan diri ku yang begitu menikmati sepi, buku-buku, kopi, musik dan menulis segala perasaan yang kerap menyelimuti ku. Merindukan itu seringkali terbayar melalui sambungan telefon yang kerap terjadi setiap hari, dalam beberapa waktu. Mungkin seperti rasanya hidup di antara zaman yang lebih memudahkan segala aktivitas bahkan sekedar menjadi pelipur lara dalam jangka Panjang. Jika seorang Novelis Eka Kurniawan mengungkapkan bahwa, “rindu seperti dendam, harus dibayar tuntas” aku rasa untuk 5 tahun ini, aku tak banyak menuntaskan rindu dengan orang-orang tercinta, obrolan virtual cukup membuatku merasa cukup untuk merepotkan ku dengan pertemuan.

Ibu sering berkata, ia berharap kelak kita bisa hidup bersama, di bawah atap yang sama ketika, waktu itu telah tiba, dengan anggukan tanpa keraguan, aku meyakini hal tersebut. Mungkin tak banyak anak-anak yang merasakan perpisahan dengan orang tua sejak dini, membangun dunia sendiri, menemukan diri sendiri, dan tenang di dalamnya. Ketika aku menemukan diri ku, banyak hal yang mulai bergeser, mulai dari definisi rumah, kecantikan, pun bahagia. 

Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), definisi tentang hal-hal diatas tidaklah berbeda dengan kebanyakan anak perempuan lain, yang mana pemikirannya berasal dari dogma budaya patriarki, hingga akhirnya aku memasuki jenjang Pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta Muhammadiyah, di situlah awal mula aku berproses dan menemukan diri ku. Tanpa tahu apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan isi kepala ku, sejak saat itu, aku terus menelusuri jalan-jalan pengetahuan yang membawaku menikmati riuhnya isi kepala, kesendirian di sudut kedai kopi, di kerubungi aroma kopi, alunan musik yang melankolis, menuliskan segala yang ingin di tuliskan, tanpa di dikte perspektif ini, merupakan hal-hal paling cinta yang selalu ingin ku temui setiap malam. 

Jika ada yang melihatku bisa berdiskusi dan tertawa lepas bersama teman-teman ku di sudut kedai kopi, itu tandanya aku yang telah mampu berdamai dengan keadaan. Bukan, luka dan trauma yang pernah hidup dalam diri ku hilang begitu saja. Ia tetap hidup, dan mungkin takkan hilang, namun aku mencoba mengajaknya berdamai, walau tanpa ku tahu kapan, ia akan kembali ingin mendominasi aktivitas ku dalam beberapa waktu, jika ada mulai mengusikku. 

*** 

Sejak januari, tak lagi ada pertemuan dengan Ibu. Aku yang memilih ke tanah Jawa untuk memilih kursus Bahasa mandarin, bersepakat dengan waktu, bahwa jika kelak aku menjalankan puasa di bulan Ramadhan mendatang, merayakan hari raya Idulfitri tanpa Ibu, aku lagi-lagi harus berbesar hati. Bukan perkara telah terbiasa, namun ada hal yang harus ku selesaikan dengan waktu dan seharusnya aku mampu untuk lewati semua ini. 

Ramadhan kali ini aku menjalaninya di Jawa Timur, kini aku bersama saudra lbu di kabupaten Tulungagung, tak banyak yang ku lakukan, selain membereskan rumah, memasak, belajar, menulis dan berkutat dengan pekerjaan domestik lainnya. Rupanya aku begitu menikmati masa-masa liburan ini, sembari menjalani ibadah puasa dan fardhu, rumah memang tempat yang paling nyaman, pun tenang. Karena, aku yang lebih suka berada di rumah, dan kedai kopi, rupanya dunia luar yang ramai membuatku penat dan ingin segera kembali ke rumah dan tenggelam dalam sunyi yang purba. 

Mengapa sunyi menjadi khidmat untuk ku nikmati? Yah, karena sesungguhnya, isi kepala ku begitu riuh. Di sana (di dalam isi kepala) aku menyimpan segala hal yang ku cintai, pun luka dan berbagai traumatis lainnya. Mungkin bagian amigdala menjadi batas, di bagian mana luka, dan bagian mana hal-hal yang paling cinta. Lalu, pada sebuah nama, aku menyimpan banyak hal yang berlalu di antara kita, kian purna dan purba, yang mengabdi pada sebuah kota yang bernama “kenangan”. Entah kapan, kita akan kembali merayakan pertemuan yang khidmat, semoga Tuhan ku bekenan atas hal itu. 

*** 

            Ramadhan kali ini, tak banyak yang ku lakukan, mulai dari ajakan buka bersama, jalan-jalan bersama sahabat-sahabat ku, yang kini jauh terbentang jarak, diskusi buku yang hanya sekali terjadi ketika kami membedah isi buku seorang penulis cilik Abinaya Ghina Jamela dan karyanya yang berjudul ‘’Mengapa Aku Harus Membaca?” bersama sahabat ku Bare Kingkin Kinamu, itu pun berlangsung secara “Virtual” selebihnya aku hanya kembali menekuni kebiasaan membaca buku-buku yang selalu ku beli melalui toko-toko online, seputar feminis, edukasi Kesehatan seksual dan beberapa karya penulis favorit ku. Mungkin kebanyakan anak seusia ku, akan terlampau jenuh jika melangsungkan aktivitas yang sama dengan ku, hehe. Jarang keluar, dirumah hanya berkutat dengan hobi membaca dan menulis, belajar dan menyelesaikan pekerjaan domestik, itulah aku. Aku cenderung menjalani hidup yang terlihat jenuh tapi aku suka. 

            Aku merasa kesibukan organisasi dan ruang-ruang akademik yang ku tekuni dahulu semasa menyandang gelar Mahasiswa, terlampau banyak dan akhirnya selesai pada saat aku di sumpah sebagai alumni, dan menyandang gelar “Sarjana Kesehatan Masyarakat”. Setelah itu semua selesai ku jalani dengan segenap proses yang berdampak baik untuk kehidupan ku selanjutnya, saat ini lebih tepatnya aku hidup dalam dunia yang telah ku temukan semasa S1 dahulu. Mulai dari diri ku, hal-hal yang ku butuhkan dan pengembangan diri yang ku jalani. 

            Aku meyakini satu hal, semua aktivitas ada massa nya, mungkin aktivitas sebagai aktivis ku semasa kuliah S1 telah mencapai limitnya, kesibukan pada beberapa ruang yang telah selesai, sekarang semua itu memberi efek terhadap kehidupanku saat ini. Pengalaman memang guru yang tak terkalahkan, pun jarang terlupakan. Aku sangat berterima kasih, pada segala pihak yang turut berkontibusi atas proses ku selama menimba ilmu Pendidikan S1, banyak dinamika yang mendewasakan dan melatih kemampuan yang kadang tak pernah ku sadari aku mampu melakukannya. 

            Rindu ketika menjadi Mahasiswa, yah pada beberapa bagian, aku merindukannya. Proses yang membuatku mengenal dan meyakini ideologi yang saat ini masih ku Yakini, memang tak mudah berproses saat usia S1, namun semua itu akan terlewati, mengukir sejarah dengan prestasi semasa kuliah adalah hal yang mengagumkan, agar kelak ketika kita telah memasuki usia dewasa pun senja, kita tak menjadi tua yang tak memiliki cerita masa muda. Kita fana, kisah kita yang abadi.

 

Tulungagung, 27 April 2022

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts