Bidadari Untuk Dewa by Asma Nadia

April 20, 2022

 

dok pribadi/Nia

 

            Asamarani Nadia Rosaiba, atau yang di kenal dengan Asma Nadia, seorang novelis dan cerpenis asal Indonesia, kelahiran Jakarta 26 Maret 1972, berprofesi sebagai penulis, tulisannya yang mana mengusung isu tentang kehidupan bahtera rumah tangga, menuai banyak pujian dari kaum hawa, tak hanya sampai disitu, penulisan yang begitu memukau, alur dan diksi yang begitu tepat di sandingkan, mampu menghipnotis setiap mata untuk konsisten menjumpai akhir cerita. Entah beerapa banyak perempuan di luar sana yang mengagumi tulisan-tulisan beliau, pun segala sajian pengalaman dan ilmu kesabaran yang tergerus oleh ujian hidup yang selalu memliki kejutan di dalamnya. Tak tanggung-tangguh, Asma Nadia memaparkan tentang peliknya hidupan secara berkesinambungan, hikmah yang kemudian dapat di ambil dan hadiah dari Allah yang tak pernah di duga oleh hamba-Nya, sebelumnya.

            Buku ini merupakan koleksi kedua ku dari karya mba Asma Nadia. Pada awalnya, aku menjumpai karya mba Asma Nadia, pada film yang berjudul “Surga yang Tak di Rindukan” kemudian di susul dengan film “Assalamu’alaikum, Beijing” yang kemudian pada lain kesempatan, seorang kerabat menghadiahi novel “Assalamu’alaikum Beijing” pada ku. Pada kesempatan kali ini, aku di beri sebuah novel oleh seorang teman baru di Rumah Anak Semua Bangsa” di Pare. 

***

            Ketika awal berkenalan dengan karya mba Asma yang ini, aku penasaran dengan kata “Bidadari” perempuan seperti apa yang kelak ku jumpai dalam novel ini? Sosok perempuan seperti apa yang akan ku temui? Lelaki seperti apa Dewa ini, hingga pantas mendapatkan sosok Bidadari yang di gambarkan mba Asma. Tanpa mau berlama-lama berselimutkan rasa penasaran, aku pun langsung memilih tempat ternyaman dan sekiranya bisa membuat ku betah berlama-lama untuk menuntaskan rasa penasaran.

            Ketika aku memilih sudut gazebo RANSEBA, semilir angin mulai berduyun-duyun menyebrangi setiap ruang sekitar tubuhku, mulai memelukku, ku biarkan semua berlalu tanpa sedikitpun niat untuk mengalihkan pandanganku. Aku berhasil menuntaskan 40 lembar pada waktu kurang lebih 30 menit. Ketika merasa sedikit lebih gerah akibat cuaca yang semakin panas, aku pun merasa tulang bagian belakang tubuh ku sedikit nyeri, aku pun beristirahat sebentar.

            Novel ini kembali ku baca pada beberapa kesempatan, menemani ku sepanjang keingiananku untuk melahapny dan sendiri. Kisah yang pada mulanya membuat jantungku sedikit berdegup lebih kencang, ketika membaca awal kisah seorang perempuan dengan hijab syar’i yang indah, tutur kata yang lemah, lembut nan sopan, harus menerima terror dari berbagai jenis manusia yang di gandrungi emosi, caci maki, tak lagi dapat di tahan, semua mengalir bagai derasnya sungai di ujung kulon kampungku. Ketika membaca pengantar yang seperti itu, membuat ku semakin penasaran, apa yang membuat seorang gadis mudan cantik mau menikahi seorang pemuda dengan hutan nyaris 8 milyar?

            Pada bab selanjutnya, aku menemui hal menarik lainnya, yakni ibu dari seorang pemuda yakni Dewa, seorang pengagum mitologi Yunani, betapa pembahasan tentang Herkules menjadi bagian yang sangat ku kagumi. Betapa terlihat lihainya sang Asma Nadia dalam menggambarkan sosok ibu yang teguh dan kukuh pendirian dan kemandiriannya, sejak di tinggal sang suami, dan mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya, yang di beri nama Dewa. Ia menyebutnya sebagai Herkulesnya.

            Tidak hanya sang ibu yang mandiri, begitupun Dewa, selama kuliah, ia selalu mengerahkan segala kemampuannya untuk memiliki penghasilan sendiri, dan tidak ma u terus-terusan menjadi beban sang ibu, ketika beranjak dewasa. Apalagi ia sadar, ia seorang anak laki-laki, ibunya mempercayai dunia di tangannya, dan menobatkannya sebagai Herkules jauh di lubuk hati sang ibu. 

            Pertemuan Dewa dengan Haura seorang perempuan yang memiliki kesan awal tidak begitu baik, cenderung kesal dan berujung benci terhadap Dewa, akhirnya menjadi kolega di tempat kursus/bimbel yang sama. Keakraban dan kemistri yang terbangun sejak berada di tempat kerja yang sama, membuat keduanya semakin dekat dan hal ini menggugah Dewa menyadari betapa ia begitu mengagumi Haura hingga ingin bersamanya selamanya. Ini menjadi salah satu rencana hidup di masa depan, bagi Dewa. Ya tentu saja masuk list.

            Tempat bimbel menjadi wadah pertemuan awal membangun hubungan baik dengan Haura. Hingga beberapa hal mulai terfikirkan oleh Dewa. Menikah dengan Haura bukan sekedar keinginan, melainkan tujuan yang benar-benar di perjuangkan oleh Dewa. Beberapa waktu awal Dewa memulai proses hidupnya melalui pendapatan di tempat kursus meminta Haura untuk mengelola keuangannya serta berujung pada berhentinya operasi tempat bimbel, sehingga nyaris tak mendapatkan pendapatan lagi, namun Dewa tak putus asa, bersama dua orang sahabat setianya dan Haura, mereka pun memikirkan untuk membangun tempat bimbel sendiri, demi menyambung usaha mereka, hal tersebut pun terlaksana. Karena, jalan hidup tak selalu lurus, demikian yang di temui oleh Haura dan Dewa. 

            Perjalanan kedua sejoli ini berujung pada niat Dewa yang di setujui oleh Haura dan kedua orang tuanya. Namun, hal tersebut tidak seperti tanggapan dari Ibu Dewa yang begitu menentang pernikahan keduanya, alas an demi alas an yang di tujukan pada Haura yang di sematkan sebagai perempuan pembawa sial. Rupanya hal ini membuat Haura harus lebih berlapang dada, mendapati mertua yang belum siap anak semata wayangnya memiliki tempat baru untuk bersandar. Tak jarang Haura mendapatkan kata-kata pedas yang dialamatkan untuk dirinya. Awalnya Dewa sering melerai sang ibu, lama-kelamaan, sang ibu merasa Huara sedang menjadi lawan kompetisinya untuk meraih hati Dewa.

            Kebencian ibu mertua Haura tak berhenti ketika mereka memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu. Ketika tinggal di Bandung, Haura selalu mendapatkan pesan-pesan tidak menyenangkan dari ibu, lambat laun ia mulai terbiasa, mental baja pun terbentuk, dengan tubuh yang mungil namun, kuatnya tembok kesabaran terlampau tinggi. Hingga tibalah waktu di mana Dewa mengalami masa-masa sulit, 18 hari pernikahan pun di hadang badai. Dewa yang sebelumnya melakukan bisnis dengan teman lamanya Ridwan, akhirnya tertipu dan harus melunasi hutang sebesar 8 milyar yang bukan merupakan kesalahannya.

            Tak hanya psikis, mental bahkan segala jiwa dan raga rasanya hilang tak tertahankan, mengetahui kenyataan pahit nan sulit ini, bagaikan mimpi Dewa bersama sang kekasih hati belum sempat melakukan banyak hal, badai telah lebih dulu menghampiri keduanya. Hari-hari yang tak pernah terduga, caci makian dan terror terus terjadi. Dewa di dampingi haura terus mencari cara apapun yang penting halal untuk menempuh segalanya, asalkan bisa melunasi hutang 8 milyar tersebut.

            Jatuh bangun, Dewa harus tetap kokoh niatnya untuk melakukan segala usaha, Haura tak pernah lengah untuk mendampingi sang suami tercinta. Ini tidak mudah, namun Haura percaya, berkat didikan Abi dan Umi, Haura tumbuh menjadi perempuan yang tak pernah berpaling dari kepercayaan akan pertolongan Allah Swt. Dewa yang merasa tak lagi hidup sekalipun raganya masih bisa bangun dan berjalan di dalam rumah, tatapannya kosong,dan semua tak lagi dapat di cerna akibat keterpurukan. Haura tetap senantiasa mendampingi Dewa dalam keadaan seperti ini, ia menganggap, di saat seperti inilah, seharusnya ia berperan sebagai istri tak seharusnya meninggalkan di saat susah tetapi, mau bersama di saat senangnya saja.

            Caci-maki terus mengalir dari mulut mertua, Haura hanya bisa menyibakkan semua itu, demi Kesehatan mentalnya, terlebih Dewa membutuhkan dirinya, untuk membuatnya merasa hidup. Beberapa usaha pun akhirnya di lakoni. Mulai dari berjualan ceker iblis, dengan bantuan kedua sahabat Dewa, yang tetap setia menemani di kala susah, senang. Dalam keadaan sedang mengandung, Haura harus tetap kuat memasak ceker iblis untuk di jual. Keadaan jatuh bangun segala usaha yang dapat di lakukan pun akhirnya di coba. Haura tak pernah gentar.

            Ketika Haura akhirnya menyelesaikan persalinan dengan baik, walaupun tanpa kehadiran Dewa di sisinya, allhamdullilah semua dapat terlewati tanpa kendala. Ketika kehadiran Nabila sang buah hati, membawa keberkahan dan kemudahan bagi Dewa dalam usahanya. Akhirnya Dewa pun diizinkan Allah untuk dapat menulis buku dan hasilnya digunakan Sebagian untuk cetak kembali melunasi sedikit demi sedikit hutang tersebut. Kemudahan terus mengalir, sungguh matematika Allah berbeda dengan manusia. Pintu rezeki di buka dari mana saja, atas khendak-Nya, semua dapat berjalan.

            Keajaiban Tuhan kerap menhampiri setelah badai ujian mampu di lewati oleh Dewa dan Haurah yang penuh kesabaran dan begitu tabah menemani sang suami. Tak hanya sampai di situ, kedua sahabat Dewa yang terus membersamai Dewa ketika jatuh, bangun merintis usaha, semua tergambar jelas kokohnya sosok Dewa yang begitu bertanggung jawab atas apa yang menjadi amanah pun beban akibat ujian yang menghampirinya. 

            Novel ini mampu memberikan gambaran yang dalam tentang lika-liku biduk rumah tangga yang kerap tak pernah di suguhkan kepada kaum lajang. Selalu saja keadaan yang di romantisasikan, mulai dari kebersamaan hingga teman hidup yang selalu menjadi tempat berbagi, padahal banyak hal di balik tabir yang seharusnya di ketahui para kaum lajang ini, agar menjadi bahan pertimbangan yang matang. Bukan hanya penerimaan kekurangan pasangan, namun lebih dari itu, mulai dari ujian yang bermunculan dari pihak suami maupun istri dan peran sebagai pasangan atau support system yang kadang Lelah, lengah dan bosan tetapi, harus tetap mendampingi, banyak hal berat yang harusnya telah kita persiapkan jauh sebelumnya. Bagaimana logika dan mental harus berperan secara bijak karena, masing-masing dari kita harus bertahan untuk tetap terbentuk mental dan kebesaraan hati.


Tulungagung, 20 April 2022

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts