Meneguk Kopi di Tulungagung

Mei 04, 2022

dok pribadi Helminarina


Tulungagung- Malam ini aku memilih ke sebuah kafe yang letaknya tak begitu jauh dari rumah. Satu alas an kaut yang membuatku ingin menghabiskan separuh malam di kafe, selama datang ke Tulungagung, untuk liburan kali ini, aku belum menginjakkan kaki di salah satu kedai kopi yang ada di sini, lebih tepatnya belum mencicipi kopi di tanah ini. Singkat cerita, aku di temani seorang teman yang memilih mengikuti k uke rumah, karena ia tak pulang ke rumah untuk liburan kali ini. 

Kafe ini bernama My Own Barn, salah satu kafe estetik dan paling banyak di gemari oleh kalangan muda dan beberapa lansia yang ingin menikmati malam dengan pemandangan ramai oleh pelanggan yang beragam. Kafe yang telah kami temui pada minggu lalu, menjadi catatan tersendiri untuk di kunjungi pada malam hari, dan benar saja, kami memilih untuk menghabiskan beberapa waktu senggang di tempat ini, dengan santapan aneka menu makanan yang tersendia, rasanya lumayan baik ketika masuk ke mulut dan indra perasa (lidah) mulai mengulumnya. 

Pada beberapa waktu lalu, ketika melewati depan kafe ini, kami melihat betapa ramai pengunjung di tempat ini, ketika memutuskan untuk ke tempat ini, aku memilih waktu setelah sholat isya, mungkin ini agak terlihat lebih awal, dengan maksud agar tak berada pada antrian yang jauh di luar bangunan kafe. Ketika, kami tiba di kafe, benar saja aku tak berada pada posisi dengan jarak yang begitu jauh dari kasir. Setelah memesan beberapa makanan ringan serta sebuah Royal Hawai, kami memilih tempat duduk yang cukup luas untuk kami berdua, agar lebih nyaman menikmati kerumun manusia yang ketika otak ku membaca suasana ini, terasa begitu lebih penat dan pusing. 

Aku memilih untuk memesan kopi, di kasir bangunan seberang, V60 seperti biasa, kopi ini masih menjadi hal yang candu bagi ku. Kafe ini memiliki 10 varian biji kopi untuk V60, namun aku memilih Gayo, untuk sajian kopi malam ini. Ketika menanti sang barista meracik kopi yang ku pesan, aku melihat dekorasi sekitar bar, lumayan estetik, dan beberapa pengunjung yang terpikat oleh kopi juga memiliki selera yang bagus. Mungkin ini diluar ekspektasi bahwa, di Kabupaten ini memiliki tempat yang terhitung estetik dan pilihan kopi terbaik yang membawa ku kesini, mungkin aku akan kembali untuk alasan yang sama, Kopi.


*** 

            Ketika menikmati aroma kopi yang taka sing, aku mulai mencicipi kopi yang hingga kini membuat ku berhasrat untuk terus menikmatinya, pada setiap perjalanan. Teman di sampingku ingin mencoba kopi dari tabung yang masih mengepulkan asap dan aroma yang merebak area esofagus, ia pun menuangkan kopi dari tabung ke sloki yang menurutnya terlalu kecil, aku pun tertawa kecil sambal mengamati tingkahnya, yang baru pertama mencoba manual brew. Ketika meneguk kopi secara perlahan, ia pun buru-buru menghentikan dengan wajah masam menahan rasa tak nyaman, ia pun sibuk mengambil air kemasan yang berada di atas meja. Ia pun berkata ia tak kuat akibat rasa pahit dan pekatnya asam yang sangat tak enak ketika sampai di lidah. Aku pun tertawa melihat tingkahnya. Ia pun kembali bertanya, apa yang ku suka dari kopi pahit yang tak ada manis-manisnya? Aku hanya mengulum senyuman tanpa menjelaskan. Perihal menjelaskan menurutku sia-sia jika ku lakukan.

*** 

            Perihal hal-hal yang ku cintai, selalu menemani setiap perjalanan ku, mulai dari membaca, mendengarkan musik, menulis dan menikmati kopi. Tak ada yang berubah, beberapa tahun terakhir masih sama. Mungkin beberapa orang yang datang dan pergi, yang tak selalu sama. Perihal orang-orang yang datang, aku menyebut mereka, sebagai orang yang sedang menuntaskan misi, yakni. Menuntaskan rasa penasarannya pada ku. Hanya itu, aku tak pernah berekspektasi lebih, buktinya tanpa ku minta, mereka pun akhirnya membuktikan dengan sendirinya. Dua sifat manusia yang lumrah, penasaran dan rasa tak pernah puas. 

            Kopi yang begitu hangat, seperti pelukan di pagi hari, rasanya tak ada alasan untuk meninggalkan kebiasaan ini. Aku sangat gemar menikmati dopamin yang mendominasi tubuhku, ketika kopi yang ku teguk melaju menuju lambung. Ketika dapat menikmati kopi dengan cara yang paling sederhana, aku bersyukur akhirnya, cinta ku terpaut pada hal yang tak pernah membuatku bosan untuk terus mencintai dengan lebih. 

            Ketika menikmati kopi, mencicipi snack, aku Miftah teman yang sedang bersama ku, melanjutkan obrolan yang sempat terputus kala berada di dalam mobil menuju kafe. Obrolan terus mengalir, beberapa hal yang pernah kami diskusikan kembali bermunculan menjadi topik hangat yang tak mudah untuk di lewatkan. Hingga akhirnya, kami merasa untuk mencukupkan malam di sini, dan memilih pulang dan tak lupa mampir ke rumah makan untuk mengisi gudang tengah. 


dok pribadi Nia


            Seperti biasa, kami tak langsung memesan grab untuk pulang, kami gemar berjalan-jalan sebentar, menyusuri jalan sekitar dan melihat-lihat keramain kota. Beberapa mata tertangkap menatap kami dengan heran, karena jarang pejalan kaki di kota ini. Mungkin mereka hanya terbiasa melihat pemandangan seperti ini di lakukan oleh para bule yang gemar berjalan kaki berpuluh kilometer, tapi kami terlalu jauh bila di sandingkan dengan ukuran bule yang gemar berjalan kaki, hehe. Kami pun tetap berjalan sembari mengobrol dan menertawakan diri sendiri, yang merasa lucu ketika ada sorot mata yang diam-diam mengamati gerak Langkah kaki kami. Aku mulai terbiasa menempuh perjalanan kaki lebih dari 6 kilometer ketika berada di negri Formosa (Taiwan), di sana aku tak punya pilihan lain, selain menggunakan kendaraan umum (MRT) untuk ke kampus, pusat perbelanjaan, ke Rumah Sakit, Klinik dan tempat lain yang ingin ku kunjungi. Di samping kemampuan ku berjalan kaki, si Miftah pun gemar melakukannya bila ada teman berbincang agar tak membosankan, ungkapnya.

            Ketika merasa cukup jauh perjalanan kami dan belum menemukan penjual makanan, kami memutuskan untuk memesan Grab, seperti biasa sebelum pulang ke rumah, tak lupa mampir ke ATM dan membeli beberapa makanan untuk di santap ketika tiba di rumah nanti. 

Kami pun pulang ke rumah dengan serangkaian mampir-mampir yang terencana dan terstruktur, untungnya kami di pertemukan dengan sopir Grab yang ramah, dan sabra menghadapi tingkah mampi-mampir kami ini.

***

            Ketika tiba di rumah, orang rumah ternyata masih kedatangan tamu, akhirnya sang tamu pun menyambut kedatangan kami dengan hangat, layaknya sosok yang di nanti. Tanpa banyak basa-basi, aku yang tak tahan dengan rasa gerah, akhirnya langsung menjumpai kamar dan mengganti pakaian yang lebih nyaman, menuju kamar mandi mencuci muka, menggunakan serum dan makan dong tentunya. Paman menghampiri ku dan menanyakan kesan aku menikmati kopi di kafe My Own Barn, aku pun menceritakan beberapa hal yang ku temui, ia pun menyarankan ku untuk mencoba kopi hijau, layaknya sales sang paman memulai sejarah kopi di Tulungagung yang tak terkalahkan untuk tingkat Jawa, sang pemimpin negara Bapak Joko Widodo pun ketika datang ke Tulungagung, memilih untuk ngopi di salah satu kedai, yang akhirnya menjadi terkenal usai kedatangan 01 negara Indonesia tersebut, yakni kopi Hijau yang memiliki ciri tersendiri, dengan warna yang berbeda dari kebanyakan kopi lainnya.

            Noted. Kopi hijau asal Tulungagung, di teguk di tanah Tulungagung, menjadi list tersendiri yang ingin ku wujudkan. Kopi memanglah ciri khas suatu daerah, beririsan dengan budaya setempat, mengarungi Indonesia dengan aneka ragam budaya membuat ku tertarik untuk menyusuri historikal melalui ragam kopi yang memiliki cita rasa khas suatu daerah. Unik, untuk menyusuri peradaban dan ragam budaya melalui kopi, mungkin inilah jalan ninja ku, haha.

 

Tuungagung, 04 Mei 2022

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts