Mengapa Aku Harus Membaca? "Abinaya Ghina Jamela"

April 09, 2022

 

Dok ribadì/Nia 

            Sebuah buku yang menuai limpahan apresiasi termasuk diriku secara pribadi. Aku sangat mengagumi semangat membaca, dan menulis yang berasal dari penulis kelahiran Padang, 11 Oktober 2009. Abinaya Ghina Jamela, seorang anak yang tak hanya memiliki hobi membaca buku, terlebih ia begitu lihai menuangkan isi kepala di dalam tulisan yang mana sampai pada hadapan pembaca, termasuk aku salah satunya, yang memulai menelusuri karyanya yang berjudul “Mengapa Aku Harus Membaca?”

            Buku ini adalah salah satu rekomendasi seorang kerabat yang membuatku memutuskan untuk mendapatkan karya sebagus ini, untuk usia yang cukup belia. Aku mulai membaca buku ini, ketika usai mengikuti ujian tes HSK 3, setelah diberikan oleh kurir ekspedisi, “yeay, buku yang di tunggu, akhirnya tiba”. Buku yang ku selesaikan tak sampai sehari, hanya berjarah sejak sore-malam hari, sungguh ini sangat mengagumkan, sambal melakukan aktivitas lainnya, aku tekun membaca setiap bab dengan baik, hingga menemui penghujung buku ini. Abinaya memiliki hobi membaca buku, bukan atas dasar paksaan pun, keinginan orang tua Abinaya, seperti kebanyakan orang di lingkungan tempat tinggalnya. Para orang tua yang suka bila anak-anaknya membaca buku, terlebih membelikan buku untuk anak-anak mereka, tanpa mau tahu anak tersebut suka atau tidak, apalagi buku tersebut memiliki harga yang relatif mahal.

            Pada karya Abinaya atau yang akrab di sapa “Nay” ini, aku menemukan banyak kebebasan berfikir yang kemudian coba ia tuliskan sebagai bentuk kritik dan pertanyaan yang belum usai ia temukan jawaban dari Bunda dan Om nya, sebagai orang tua, tempat ia menuntaskan rasa penasarannya. Aku sangat mengapresiasi dan bangga pada anak-anak yang mampu menyuarakan aspirasi atau keresahan yang kerap menyergap di tengah keadaan yang dianggap tidak berlaku adil padanya. Hal tersebut yang di rasakan seorang Nay di tengah kondisi yang memposisikan ia sebagai anak-anak. Dimana anak-anak di anggap hanya anak yang sudah seharusnya tunduk pada orang dewasa, jauh dari kata gemar terhadap buku, mampu menulis atau berkarya. Karya-karya sastra dianggap hanya orang dewasalah yang bisa. Padalah Nay dapat melakukan itu, tak peduli ia anak kecil. 

            Nay, mulai membaca dan menulis sejak usia dini, mengamati setiap hal yang ia lalui, memaknai setiap kejadian yang singgah dalam hidupnya, membaca buku-buku yang menurutnya menarik untuk di baca, melakukan hal-hal yang di sukai, seperti membaca buku yang menurutnya bagus untuk di baca ketika bosan dengan tugas sekolah, teman main yang tidak asyik atau bunda yang dengan cerewet mengomelinya. Di sini aku menemukan alasan akan hobi membaca buku, yang telah ku lakukan, sejak duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar (SD) dahulu, hingga menamatkan pendidikan SD dan berlanjut hingga saat ini, aku hanya membaca komik dan novel yang tersedia di perpustakaan hingga taka da lagi novel klasik yang tersisa, semua ku baca dengan semangat yang tinggi, semua itu atas dasar aku menyukai isi buku itu, selebihnya alasan yang sama seperti Nay. Mungkin kurang lebih seperti itu anak kecil yang memiliki hobi membaca. 

            Pada aliran tulisan Nay, aku menemukan banyak cerita dari buku-buku yang telah ia baca, yang mana ia mulai mengkritisi isi yang meliputi; unsur intrinsik dan ekstrinsik dari buku tersebut, terlebih pointnya adalah karakter penulis dalam menuangkan isi kepalanya ke dalam buku tersebut. Aku rasa ini hal yang paling mutakhir bagi anak, selain dapat menganalisis penokohan, alur dan sudut pandang sebuah buku, di butuhkan pembaca yang tidak hanya membaca, tetapi mampu memahami dan menganalisis sebab akibat, seperti yang dilakukan oleh Nay, terlebih sikap kritisnya mampu menyulap semua pertanyaan dan pernyataannya dalam karya yang luar biasa.

            Pada bab pertama aku di suguhkan dengan pernyataan Nay yang mengagumi karya-karya Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan Indonesia yang terus memenangkan kedudukannya di hati ku, karya yang luar biasa, untuk anak usia dini yang mengagumi karya Pram, bukanlah sekedar pembaca yang tekun tapi, selera bacaan yang high class untuk bisa mecerna segala keresahan, kritik dan pemikiran seorang Pram. 

            Pada halaman lainnya, aku menemukan kritik Nay terhadap orang dewasa, yang selalu bertingkah paling benar, tak pernah mengakui mereka tidak selalu hebat. Tidak pernah mau mendengar anak-anak, justru anak-anak di suruh mendengarkan perkataan orang dewasa dan tunduk. Orang dewasa yang selalu berdalih anak-anak adalah kertas putih yang harus di beri warna, di gambar dan di isi, tapi orang dewasa lupa, kalau mereka sudah mencoret-coret kertas itu seenaknya, tanpa mendiskusikannya dengan anak-anak, apakah anak-anak nyaman atau sepakat dengan coretan tersebut? Nay, mampu mengungkapkan keresahan ini, yang jarang bisa di deskripsikan oleh anak-anak sebayanya. Anak-anak kebanyakan tidak suka dengan gaya orang dewasa yang gemar memerintah tanpa memastikan apakah anak tersebut akan baik-baik saja, apalagi suka? betapa Nay merasa menjadi anak-anak adalah hal terberat di dunia ini. Anak-anak di disuruh membaca buku, tapi orang dewasa gemar bermain smartphone

            Aku menemukan protes Nay terhadap tulisan Neil Gaiman dengan melanggengkan dogma patriarki, lagi-lagi Nay mampu menganalisis pemikiran patriarki, luar biasa, untuk usia yang belia, mungkin usia ini, anak-anak sebayanya takkan mampu menganalisis dan merasakan atmosfir patriarki seperti yang di rasakan Nay. Nay dapat mengalisis dan menulis atas berkat kegemaran dan keingintahuannya, ia menuntaskan semua itu dengan membaca, mencatat diksi yang tidak ia ketahui untuk mencari tahu, menanyakan pada Bunda dan Om untuk dapat memahami isi buku tersebut. Aku kagum terhadap perempuan dan seluruh umat manusia yang sadar akan dogma patriarki yang berusaha mengkotak-kotakkan perempuan dan laki-laki dalam standar yang di buat, serta standar-standar untuk perempuan tanpa memikirkan hak konstitusional perempuan, menghargai pemikiran dan potensi perempuan. Betapa terlihat jelas kaum laki-laki mendominasi dalam bidang yang dianggap pantas dan terlihat baik untuk menggambarkan maskulinitas laki-laki sebagai makhluk yang dapat dikendalikan dan mudah di atur, sementara perempuan rumit dan pembangkang. Aku pun tidak sepakat dengan hal ini, aku merasa mual setiap membaca karya yang berusaha merekontruksi pemikiran yang mengagungkan kaum laki-laki ini.

            Nay pun membahas tentang Roald Dahl yang menciptakan cerita yang begitu kejam sehingga Nay melabeli ia kelewatan hiperbolis hal ini yang pernah aku rasakan. Mengapa orang-orang jenis Roald Dahl ini gemar membuat cerita yang menyiksa anak-anak? Apakah semakin menderita seseorang, terlihat semakin seru? Aku tak paham. Aku sejak duduk di Taman Kanak-kanak tidak kuat membaca, menonton dan menyaksikan penyiksaan terhadap manusia lain secara berlebihan, dengan menyibakkan nurani. Hingga saat ini aku belum mampu menonton film G30SPKI dan beberapa drama korea yang ingin ku tonton tapi, tidak bisa menyaksikan kekerasaan terhadap manusia lain, salah satunya K2. Progres terbaik lahir di tahun 2021, aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk membaca novel “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori.

            Pada beberapa tulisan Nay lainnya, aku menemui kemiripan dengannya. Nay lebih gemar membaca buku yang cenderung banyak teks dibandingkan, buku yang di bantu oleh ilustrasi gambar. Alasannya adalah kita mampu berimajinasi tentang tempat, waktu, tokoh dan setiap kejadian tanpa di batasi oleh ilustrasi. Imajinasi kita bebas, lepas dan merdeka, kurang lebih seperti itu. 

            Bagian terakhir yang amat ku sukai, adalah di mana Nay mampu menyuarakan keresahannya akan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dimana wakil rakyat ini tidak memiliki etika yang baik, beberapa kali ia menyaksikan sidang dengan kursi tak berpenghuni, alias wakil rakyat yang tidak hadir. Gemar berteriak serta membanting meja, semua prilaku wakil rakyat itu di amati dengan baik oleh Nay. Ia pun bergumam tentang anak-anak yang di paksa bangun pagi, ke sekolah dan belajar hal-hal tidak di sukai, mata pelajaran yang tidak diinginkan tapi di wajibkan. Katanya wakil rakyat adalah pilihan orang-orang terbaik. Lantas mengapa prilakunya seperti itu? Apakah wakil rakyat perlu banyak belajar dari anak-anak?

            Aku pikir Nay adalah salah satu wujud anak-anak yang menyurakan segala aspirasi dan pemikiran yang telah menjadi residu, kebanyakan anak meluapkannya dengan emosi, amarah yang kemudian di labeli anak nakal, anak pembamkang dan berbagai istilan sekebun binatang yang kemudian di sematkan pada anak. Suara hati anak-anak yang coba di sampaikan oleh Nay melalui karyanya, agar di baca oleh pembaca, semua itu semata-mata ia lakukan atas dasar kebingunan dan keresahannya yang di pojokkan sebagai anak-anak, ia mencoba merobek tabir “anak-anak harus mendengar perkataan orang dewasa dan tunduk terhadap mereka”.

            Aku mendambakan anak yang gemar membaca buk, yang mana ia minati, mampu berdiskusi tentang hal-hal yang membuatnya nyaman akan didikan yang di tawarkan atau tidak. Mampu menulis dengan baik, sebagai bentuk pembaca yang baik. Sama halnya dengan Nay, aku rasa tak hanya aku yang mengamini memiliki anak seperti Nay, tetapi orang-orang di luar sana pun, banyak yang mengidamkan hal serupa. Semoga Nay terus di beri kemudahan dan keberkahan serta hidayah dalam hidupnya, agar terus dapat berkarya dan menyuarakan opini-opini kritisnya. Panjang umur, Nay.

 

 

Pare, 10 April 2022

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts