Perjumpaan Budaya & Agama
Oktober 09, 2021
SIANG ini terasa begitu tinggi suhu
yang diperoleh, mungkin malam ini akan terasa lebih dingin dari kemarin. Ketika
aku telah menyelesaikan beberapa urusan di kampus, lagi-lagi tentang sepak
terjang mahasiswa yang kerap melaksanakan wisuda, semua terasa begitu di dramatisasikan
oleh keadaan.
Ketika tiba di indekos, rasanya
lelah kembali merangkul, hingga rasa kantu begitu gesit membombardir mata dan
seisi kepala ini. Beberapa pemandangan menjemukkan, rasanya tidak baik untuk
dibiarkan, seperti biasa ketika kedua anak piara telah cukup kotor maka,
memandikan mereka adalah hal yang wajib. Aku pun segera menyibakkan rasa
kantuk, pun lelah yang begitu erat mencumbu diri ini.
***
Hari ini, tepat pada 08 Oktober
2021, aku memenuhi sebuah undangan dari sebuah komunitas yang cukup bergengsi
di kota Ternate, pendirinya merupakan sahabat yang sering ku lekatkan stigma “orang
baik yang tak lelah menebarkan energy positif” yakni, Pak Maulana. Aku selalu
mengapresiasi segala bentuk kegiatan tentang budaya yang kerap di lakukan oleh
komunitas ini. Hari ini merupakan kali kedua aku menghadiri kegiatan dari Ternate Heritage ini.
Bacarita Pusaka, merupakan tema yang
sangat ku kagumi, apapun itu, tentang ritual yang dilahirkan dari budaya di
tanah Kie Raha ini, semua pasti menarik. Kali ini, Ternate Heritage menyapa para warga yang tentang “Fere Kie dan
Mitigasi Bencana Gunung Gamalama” hal yang menarik bukan, serasa sukma ku ikut
menyapa tentang perjumpaan antara budaya dan agama yang tersublim dalam
rangkulan semesta, tidak hanya tentang manusia dengan dunia tapi, lebih dari
itu, akhirat.
***
Banyak cerita instagram para teman-teman
maupun keraba, melayangkan poster tentang kegiatan ini, tak luput dari
penglihatan aku, nama Mas Ded terlihat jelas. Kali ini aku tak lagi
menceritakan tentang keribetan mas Ded dengan aktivitas kami sebagai pecinta reptil
tetapi, bagaimana beliau menjadi pembicara sebagai kepala kantor Pos Pengamatan
Gunung Api Gamalama, tentu ini sangat menarik, hingga ia terlihat tampak
berbeda. Kali ini bukan lagi seperti Mas Ded si ribet.
Aku memasuki area parkiran, dengan
dipandu oleh salah seorang anggota komunitas. Tampak acara baru saja di mulai.
Tak lama kemudian, aku menangkap sosok Mas Ded yang tengah duduk dengan
gagahnya pada sebuah kursi yang elastis dan memiliki roda yang dapat membawa
beban pada kursi tersebut berpindah tempat. Di samping Mas Ded telah hadir
pembicara pertama yakni, Bapak Sukarno M. Adam, M.A. yang baru ku ketahui
beliau juga merupakan dosen Antropologi, sekilas hanyalah ku ketahui bahwa,
beliau merupakan bagian dari BUKUSUBA Institut.
Pada kesempatan yang baik ini, tak
hanya kedua pembicara hebat yang hadir namun, ada pula Pak Bram dari Basarnas
kota Ternate, Pak Joko Mulyanto yang merupakan Babinsa dari kelurahan Sangaji
Utara, Ayah Ari sang seniman hebat yang berasal dari Maluku Utara, Pak Mansur
dari BPBD kota Ternate, Pak Chairil Bhabinkamtibmas kelurahan Sangaji Utara, di
susul Kak Uli dari kelurahan Sangaji Utara. Wah, aku pun terkesima, semua
merupakan orang hebat yang turut mengapresiasi kegiatan yang sungguh bernilai
ini.
Berbicara tentang budaya Maluku
Utara sendiri, aku mengakui minimnya pengetahuan yang aku dapatkan, bukan hanya
literature yang terbatas, sastra lisan
yang berkembang di tanah para Raja ini, memang minim untuk dapat aku
akses. Oleh karena itu, betapa ruang diskusi publik ini dapat menambah
pengetahuan ku secara langsung. Ahh, aku memang haus tentang literasi budaya
negri ini.
Banyak yang bertanya tentang “mengapa
aku yang mendiami tanah Maluku Utara ini tak memiliki pengetahuan yang memadai
tentang budaya lokal?” justru aku lebih banyak mendapatkan pengetahuan tentang
suku budaya dan literasinya, yang merupakan kampong halaman ibu berasal. Aku
yang terlahir di Kabupaten Halmahera Timur, dan tumbuh di salah satu daerah
transmigrasi tempat Ayah ku bertugas dahulu sebagai PNS (Pegawai Negri Sipil),
budaya Jawa telah lebih dulu mendarah daging dan hidup dalam aliran darah ku. Aku
menjadi begitu minim dalam meng-akses budaya Maluku Utara itu sendiri. Dewasa
ini, rasanya aku begitu tertarik secara masif tentang filosofi segala bentuk
ritual yang lahir dari budaya Maluku Utara.
***
Tanpa berlama-lama lagi, sang moderator
mengarahkan para pembicara menguraikan bahan cerita yang telah di persiapkan,
mulai dari Pak Sukano yang begitu identik dengan gaya khas orang Antropolog,
kacamata hitam dan kumisnya yang terlihat tangguhnya diri.
Fere Kiye, sebuah sebutan untuk melakukan
pemujaan dan doa terhadap gunung Gamalama, yang mana dilakukan dengan
serangkaian tata cara yang telah dipercaya harus dilakukan. Menapaki jalur
pendakian melalui kelurahan Marikurubu, di lengkapi dengan busana yang berwarna
putih untuk kaum Adam, layaknya orang yang hendak melaksanakan sholat.
Pendakian dilakukan dengan niat semata-mata ingin melakukan ritual Fere Kiye,
perjalanan berlanjut hingga memasuki batas yang yakini sebagai gerbang masuk
puncak gunung api. Dengan melakukan adzan terlebih dahulu, di lanjutkan dengan
dzikir pun doa yang percaya permohonan dengan cara yang telah dilakukan secara
turun-temurun oleh para leluhur.
Para leluhur percaya bahwa, dengan
menjaga gunung api, dapat menjaga kehidupan kita dari bencana yang tidak di
inginkan. Dengan melakukan hal-hal yang merusak alam, tidak mengganggu
kehidupan di kawasan puncak gunung dengan berteriak serta melakukan maksiat
semua merupakan serangkaian kepercayaan dalam bentuk menjaga kehidupan puncak
gunung api yang di sakralkan. Hal ini tentu saja ada kaitannya dengan Mitigasi
bencana, dimana masyrakat dihimbau untuk tidak bermukim di Kawasan Rawan
Bencana III, pada kawasan ini dilarang melakukan aktivitas warga,
Pentingnya memahami aktivitas gunung
api Gamalama, adalah suatu hal yang wajib untuk di ketahui oleh para warga yang
mendiami tanah Gamalama ini. Hal yang kerap sering di amati setiap harinya,
asap yang kadangkala terlihat, perlu diketahui melalui warna asap yang tentunya
memberikan petunjuk adanya erupsi atau tidak.
Gunung api Gamalama yang masih
terdapat aktivitas memerlukan pemantauan dari para pengamat dengan bekal
pengetahuan, serta bantuan peralatan yang digunakan, seperti Seismograph dan
sebangsanya. Asap yang sering terlihat memiliki beberapa warna, untuk di
ketahui erupsi atau tidaknya melalui warna yang menggambarkan aktivitas gunung
api, seperti warna putih yang berarti tidak terjadi erupsi, hanya tekanan uap
air, jika warna asap berbeda seperti abu-abu misalnya, maka terdapat material
dan dapat dikatakan erupsi.
Pendidikan tentang Mitigasi Bencana
yang mana di ketahui sama-sama menjaga alam, seperti halnya budaya, yang
memiliki kepercayaan akan ritual yang tidak mengganggu kehidupan gunung api
sehingga, kita dapat hidup saling berdampingan, pun dengan bencana, semua itu
saling bersendikan, antara Mitigasi atau secara Saintific, budaya maupun agama, yang sama-sama melarang yang
namanya kerusakan. Bukan hanya manusia yang murka bila di ganggu kehidupannya,
apalagi di perparah dengan kerusakan akibat ulah pihak lain, demikian yang
terjadi pada gunung api Gamalama.
Pendekatan melalui kearifan lokal
sangatlah penting, kita ketahui bersama bahwa di tahun 1983 barulah ada
pengamatan dan ilmu yang berakar dari sains tentang gunung api di kota Ternate,
jauh sebelum itu, masyarakat berpegang pada nilai-nilai dari para leluhur akan
cara atau yang di kenal dengan ritual dalam hal menjaga gunung api, sehingga
dapat dijauhkan dari bencana, serta tidak melakukan aktivitas yang melanggar
nilai yang yakini dapat membawa petaka bagi warga yang mendiami gunung api
Gamalama ini.
Jika gunung api murka, sangatlah
mudah baginya untuk melenyapkan diri kita seketika yang mendiami bagian
tubuhnya karena, para pakar mengatakan bahwa, di bawah laut terdapat tonjolan
larva, yang berarti kaki gunung terdapat dibawah laut sehingga perlu adanya
kesadaran masyarakat akan potensi resiko bencana yang sewaktu-waktu akan
terjadi di masa yang akan datang.
***
Sore telah kembali pada peraduannya,
malam pun memeluk sang rona oranje
yang kelam di tilam gelapnya malam yang mulai bertandang. Para undangan yang
memiliki kepentingan untuk berkunjung ke dalam kantor dan melihat kerja monitor
dan peralatan yang digunakan untuk mengamati aktivitas gunung api Gamalama.
Ketika hendak berpamitan, aku pun
menyambangi sang guru sekaligus sosok yang sudah menambatkan aku sebagai putrid
kecil di hatinya, yah Ayah Ari, dengan sedikit obrolan yang terbangun, Ayah
meminta untuk mengabadikan momen bersama, setelah sekian purnama tak bertemu di
sela kesibukan yang makin gila. Tak lupa pula aku berpamitan sama Mas Dedi dan
Pak Maulana, yang sedari tadi saling bertukar senyum dan kami pun saling menyapa
dengan ucapan hangat yang dibarengi oleh garis senyum yang khas.
Langit tampak tak bersahabat,
perkiraan cuaca yang tertera di smartphone
ku, rupanya menuai kebenaran, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Aku
kembali tenggelam dalam pikiran ku, sambil mengendarai sepeda motor, melintasi
jalanan kota yang dipenuhi arus lalu lintas yang kadang tak ramah, sesekali
membuatku menggerutu di dalam hati.
0 comments