Maskulinitas Toksik

November 30, 2022



 

Ketika menjalani kehidupan sebagai mahasiswa mencoba segala hal yang dianggap menarik, menjadi volunteer, menari, musikalisasi puisi, bermain teater, mengikuti kompetisi mahasiswa, karate dan lain-lain, adalah hal yang kerap ku lakukan untuk membayar rasa ingin tahu yang selalu menghampiri, hingga terbentuklah rasa nyaman di dalamnya, ingin terus mencoba hal-hal baru . Hal seperti ini terus ku lakukan, demi mempertahankan rasa kenyamanan dan tentram yang hidup di dalam jiwa. Hingga pada akhirnya aku menyadari bahwa, semua ada massa nya. Aku takkan hidup seperti ini secara terus-menerus. Bermain teater terus, menjadi volunteer setiap minggu, menari setiap saat, walaupun ini adalah bagian dari hidup dan rasa tentram yang kemudian ku ramu demi menjaga stabilitas kewarasan pada isi kepala. 

*** 

 

Ketika belajar di perguruan tinggi, aku menemui banyak fenomena kaum patriarki yang melanggengkan aksi maskulinitas toksik. Aku menjumpai beberapa teman-teman yang tergabung dalam sebuah wadah yang memiliki visi dan misi melawan patriarki. Aku salut akan  kekompakkan dan hal-hal yang di perjuangkan, terutama hak-hak perempuan itu sendiri, sebelum lebih banyak membicarakan tentang kesetaraan.

 

Aku menemui banyak perempuan dengan beban ganda, mulai dari urusan domestik, hingga membantu sang kepala keluarga yang di anggap memiliki pekerjaan tetap (berstatus bekerja) ini untuk mencari nafkah, karena keterbatasan pengahsilan yang di peroleh sang suami, di situlah peran perempuan ini menjadi penting untuk turut serta membantu mencari nafkah. Namun, apa apresiasi akan berlaku untuk perempuan yang memiliki beban ganda ini? Tidak. Ia di cap sebagai perempuan yang tidak bekerja. Justru suaminya yang masih di bantu sang istri untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder bahkan lux ini dianggap tidak bekerja. 

 

Ketika memasuki dunia kerja, aku menemui para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, memiliki anak, cerai hidup, Sebagian memiliki suami yang bekerja di kota tempat tinggal mereka, namun seluruh kebutuhan sang anak berasal dari sang ibu yang tangguh ini.  Aku kemudian teringat beberapa fenomena nilai Maskulin dan Feminis yang berkembang di masyarakat kita di ranah publik. Pandangan tentang gender yang berkembang di masyarakat adalah laki-laki maskulin dan perempuan feminin. Laki-laki di ranah publik dan perempuan privat. Laki-laki kuat dan perempuan lemah. Kemudian dikuatkan dengan budaya patriarki. Masyarakat sering salah mengartikan dan menganggap hal tersebut sebagai kodrat. Padahal gender terbentuk melalui proses dan buatan manusia, serta dapat berubah seiring berjalannya waktu. Sedangkan yang merupakan kodrat adalah jenis kelamin. 

 

Ketika laki-laki dianggap lebih kuat, bijaksana dan yang bertugas memberi nafkah, bila perempuan dapat bekerja dan mandiri akan menjadi ketakutan tersendiri bagi pihak patriarki karena, dianggap merebut maskulinitas namun, pada beberapa kasus perempuan menjadi penopang ekonomi keluarga ketika, sang suami tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga secara masif. Apakah sampai disini perempuan masih berada posisi sebagi sub ordinat? Padahal peranannya begitu penting dan sangat di butuhkan.

 

Sejak kecil aku di doktrin dengan buku bacaan tentang perempuan yang baik, harus lemah lembut dalam bertutur, berpakain yang terlihat cantik atau terdapat nilai cantik nan anggun di dalamnya, jika melangkahi standar perempuan baik di masyarakat patriarki akan di judge sebagai anak nakal dan mirip lelaki. Karena, lelaki boleh kasar, nakal dan melakukan hal-hal yang dianggap maskulin teteapi perempuan tidak boleh, karena keperempuanannya. 

 

Disini aku paham bahwa, ketimpangan pemikiran tentang perempuan dan laki-laki yang di bentuk oleh lingkungan masyarakat kita sudah lama mandarah daging, sehingga hal-hal seperti ini dianggap sebagai hal yang wajar. Menormalisasikan sikap lelaki yang kasar, enggan melakukan pekerjaan domestik dengan dalih ini adalah pekerjaan perempuan, merokok dan mengkonsumsi alkohol adalah hal yang biasa saja, dan terlebih dia dia adalah laki-laki. Bagaimana ketika perempuan yang melakukan hal tersebut? Apakah akan dianggap biasa saja dan wajar? Tentu tidak, bahkan ia akan di labeli perempuan tidak baik.

 

Dari standar dan perlakuan menormalisasikan nilai-nilai diatas, pada akhirnya ketika kenyataan memberikan fakta bahwa, laki-laki membutuhkan perempuan untuk menopang perekonomian, hal itu tidak lantas merubah nilai maskulinitas yang hanya boleh di sematkan pada seorang manuasi yang bernama laki-laki. Apakah ini perlakuan hipokrisi? Yah, aku setuju. Dengan rasa takut ketika perempuan bisa mandiri dan merebut nilai maskulin tersebut, namun pada akhirnya memang peranan perempuan begitu penting tetapi nilai yang dibentuk oleh masyarakat kita terlalu jauh di dalam jiwa-jiwa manusia, posisi kesetaraan masih tidak tercapai oleh sajian kenyataan, bukankah ini terlalu miris? 

 

Perlakuan ketidaksetaraan masih banyak lagi di luar sana, bahkan beragam dan tidak terhitung lagi, untuk itu aku merasa begitu penting untuk kita memilih atau mengfilter orang-orang terdekat yang bisa menghargai atau apresiasi terhadap usaha-usaha kita sebagai teman bahkan jika sudah berkeluarga, sebagai pasangan, dengan lebih baik, jika hal tersbeut bisa dilakukan secara bersama (pekerjaan domestik misalnya), kenapa harus menjadi beban ganda salah satu pihak, bukan?

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts