Adaptasi Dunia Kerja

Agustus 24, 2022

  

Langit sore hari, di Lelilef
dok pribadi/Nia
 

Ketika menyelesaikan Pendidikan S1 di jurusan Kesehatan Masyrakat, konsentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan, aku memilih untuk mengikuti privat bahasa Mandarin, mengingat ketertarikan ku terhadap bahasa. Pertanyaannya, kenapa harus bahasa Mandarin dari sekian banyak bahasa di dunia? Yah, semua ini ketika bermula aku mengikuti Student Exchange di NTUNHS (National Taipei University of Nursing and Health Sciences) Taiwan. Dahulu, aku berfikir antara Taiwan dan Cina memiliki bahasa yang sama. Ternyata, tidak. Selanjutnya belajar adalah hal yang tidak salah. Apapun itu, yang salah adalah yang tidak mau belajar. Aku pun melanjutkan belajar bahasa Mandarin di salah satu lembaga kursus di Pare, Kediri, Jawa Timur. 

 

Ketika menyelesaikan kursus bahasa Mandarin, aku memilih untuk kembali ke Ternate, mengingat setelah wisudah, belum mengambil ijazah, aku pun harus kembali dan mengurus serangkaian prosedur untuk dapat menerima ijazah dengan bubuhan nama yang memiliki gelar di belakangnya yakni, SKM (Sarjana Kesehatan Masyarakat). 

***

Ketika sedang di sibukkan dengan pengurusan kampus untuk memenuhi syarat pengambilan ijazah, seorang teman mengabari ku tentang tawaran kerja dengan salah satu kontraktor asal Cina yang beroperasi di PT. IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park). Ketika telah menyelesaikan serangkaian pengurusan di kampus, aku pun menerima tawaran tersebut. Tujuan kerja adalah adaptasi dengan bahasa Mandarin itu sendiri, sebagaimana yang kita tahu, dengan hanya privat atau belajar di tempat yang mana terdiri dari orang-orang Indonesia, akan terasa jauh berbeda, di bandingkan dengan bekerja dengan lingkungan yang terdiri dari orang-orang Cina itu sendiri. 

 

Ketika awal memasuki dunia kerja, adaptasi lingkungan di tempat kerja sedikit membuatku tidak nyaman. Berbagi kamar, fasilitas kamar mandi dan toilet yang serba umum. Tapi, ketika di fikir-fikir memang ini gejala orang-orang yang fresh graduate dan memasuki dunia kerja, terlebih jauh dari duna ku. Jauh dari coffe shop, toko buku dan tongkrongan bersama teman-teman, yang selalu membahas isu-isu terkini negri ini, saban hari. Ah, memang agak sedikit pahit meninggalkan zona nyaman kita. Tapi, kita perlu berdamai dengan keadaan yang membuat kita kian paham, bahwa segala keadaan tak ada yang abadi. Apapun itu. 

 

Di kantor ku terdiri dari 98% penduduk asal Tiongkok yang tidak bisa berbahasa Indonesia apalagi Inggris. Aku harus berkoordinasi dengan atasan dengan menggunakan bahasa Mandarin. Telinga ku yang belum terbiasa dengan bahasa Mandarin yang terucap dengan kecepatan tinggi, sedikit membuat ku kesulitan. Inilah adaptasi bahasa Mandarin, yang tidak mudah. Beruntung dua orang atasan ku ada yang mamahami bahasa Inggris secara pasif sehingga, bila dalam keadaan darurat, aku bisa menggunakan bahasa Inggris. 


 

Kedua rekan kerja departemenku berasal dari pulau Jawa. Ini sedikit memudahkanku dengan menggunakan bahasa Jawa dan terciptanya chemistry secara cepat. Aku selalu bersyukur masih bertemu dengan rekan kerja dan atasan yang baik, ini akan sedikit mengobati rasa ingin kembali ke rumah. Mengingat perbedaan usia kami yang terlampau jauh, kebanyakan rekan kerja ku lebih memahami dan membantu pekerjaanku sehari-hari. Ini lebih baik dari ekspektasi ku.

***

Ketika lulus kuliah, pikiran ku berkecamuk akan dua pilihan. Apakah meneruskan Pendidikan ke jenjang S2 di Cina atau menyelami dunia kerja, dan ketika melalui beberapa keadaan, aku merasa lebih siap untuk bekerja. Mengingat sejak kuliah aku ingin mandiri, bisa bekerja sembari kuliah namun, Ibu selalu melarang, dengan alasan aku takkan bisa fokus terhadap kuliah. Hal itu hanya akan memperhambat kuliahku, tutur Ibu. Aku pun mencoba melawan, dan hasilnya tidak ada yang berhasil.

 

Menjadi anak bungsu tidak membuatku menjadi anak yang lebih mengandalkan orang tua dalam segala hal. Apapun tentang diriku, sebisa mungkin apapun itu ku lakukan sendiri. Sejak SMP aku sudah terbiasa melakukan apapun sendiri, segala yang ku butuhkan, dan Ibu ku merasa aku cukup baik untuk bisa hidup seorang diri di perantauan. 

 

Sejak SMP aku sering melakukan perjalanan sendirian, ke tempat tugas Ayah yang berada jauh dari daerah rumah kami, berpergian ke provinsi lain, menyiapkan segala kebutuhan ku seorang diri. Pada akhirnya aku pun nyaman dengan kesunyian, menikmati setiap derap langkah sendiri, kamar dan coffe shop adalah tempat-tempat ternyaman. Toko buku dan perpustakaan adalah favorite place.

 

Meninggalkan semua tempat yang kita senangi, orang-orang yang kita sayangi, dan hal-hal yang kita gemari, memanglah tidak mudah. Namun, mungkin harus seperti itu, agar kita dapat menghargai pertemuan dan kebersamaan kita kelak. 




 

Lelilef, 25 Agustus 2022

 

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts