Senyuman dari RANSEBA

Februari 27, 2022

 

 

dok pribadi/Vero

            Seperti hari yang sudah-sudah, menjadi seorang volunteer, mendekap senyuman dari pipi yang kerap mengembang dengan mudah dan sederhana, dari wajah anak-anak, adalah hal yang paling membahagiakan. Entah karena apa, mereka tak perlu alasan lebih untuk bisa tersenyum dan menularkannya kepada orang lain. Mereka yang pernah merasakan lelahnya isi kepala dan beratnya hati untuk berdamai dengan keadaan, tidak benar jika sepenuhnya kami mengajarkan hal-hal baru terhadap mereka namun, kami lah yang banyak memperoleh pelajaran baru, dari mereka, yang jarang di sadari.

***

            Hari ini, adalah kali ketiga, aku berkunjung ke RANSEBA (Rumah Anak Semua Bangsa). Jauh sebelumnya, aku telah diperkenalkan dengan seorang gadis cantik, salah satu relawan yang berbudi pekerti baik dan ramah, Vero namanya. Atas perkenalan singkat, yang di lakukan oleh Kak Apoel, aku merasa terpanggil untuk kembali, suasana yang sangat ku rindukan, bukan Mall, resto dan tempat mewah lainnya. Namun, semburat senyuman di wajah tulus anak-anak, belajar bersama, menyatu dengan alam tanpa memandang kasta, siapapun sama, di hadapan buku dan ilmu pengetahuan. Mungkin inilah salah satu cara menghilangkan dahaga akan pertemuan dengan tangan-tangan mungil, celoteh dan tawa yang kian membuncah bila di pacu dengan pertemuan yang menghadirkan cinta tanpa syarat.

            Kali ini, aku tidak sendiri, melainkan di temani oleh seorang teman, Alivy. Setelah bertemu dengan Vero di akhir pekan kemarin, aku dengannya berdiskusi tentang aktivitas anak-anak di RANSEBA, mengingat beberapa volunteer terdahulu telah pergi dan tak kembali. Ia menawarkanku untuk mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak, aku pun menyambut hangat tawaran tersebut. Kemudian, aku mengingat seorang teman yang pernah mengetahui aktivitas ku semasa menjadi Mahasiswa S1 silam, menjadi volunteer di beberapa pustaka literasi, ia mengutarakan kekaguman serta keinginan untuk dapat menjadi volunteer bila ada kesempatan. Aku pun langsung menghubungi Alivy, mengajaknya untuk mengajarkan Bahasa Inggris bersama untuk anak-anak di RANSEBA.

            Alivy pun bergembira, menyambut ajakanku. Tanpa banyak persiapan, keesokan harinya, aku bersama Alivy, langsung ke RANSEBA, ba’da ashar. Ketika memasuki halaman bangunan rumah lansia, aku dan Alivy langsung memarkir sepeda dan menuju kea rah belakang, di dimana RANSEBA memiliki sebuah Musholah yang digunakan untuk beribadah dan belajar. Aku pun menemui Vero di rumahnya, yang terletak tidak jauh dari Musholah. Vero pun menyambut kedatangan kami dengan hangat, senyuman pun mengembang dari garis wajahnya, ia pun mengarahkan langsung ke Musholah karena, anak-anak telah menunggu kehadiran kami.

***

            Aku dan Alivy memasuki ruangan Mushollah yang tidak terlalu besar namun, cukup untuk di gunakan belajar dengan kapasitas anak-anak yang mengikuti kelas sore ini. Sorak dan tawa pun berhamburan di udara. “Miss, miss ayo kita mulai kelas” sorak anak-anak yang tak sabar menanti kelas. Kami pun tersenyum dan merasakan lelah yang hilang seketika akibat berada di ruangan ini, bersama mereka. Tak berselang lama, kami pun memulai kelas, perkenalan masing-masing dari kami dan mereka pun mengawali kelas sore hari ini.

dok pribadi/Vero

            Kali ini, kami mulai mengenalkan bagian-bagian tubuh kepada mereka. Mulai dari kepala, telinga, mata, alis mata, hidung, bibir, mulut, bahu, lengan, tangan, dan lain-lain. Kita telah berkenalan dengan bagian tubuh, kami pun bersama-bersama menghafalnya, dengan kreasi menyanyikan lagu-lagu yang memuat hafalan bagian tubuh untuk mempermudah ingatan akan nama-nama bagian tubuh dalam bahasa Inggris, membuat mereka semakin tertawa lepas, akibat tingkah mereka yang berbeda dan terkesan lucu di pandang. Aku dan Alivy tak lepas di buat tertawa oleh tingkah jenaka beberapa anak, pun terkadang pelafalan bahasa inggris yang di campur dengan bahasa Jawa, hehe.




dok pribadi/Vero

            Setelah melalui proses menghafal bersama, menulis, bernyanyi dan tak lupa kami menyelipkan games pun PR (Pekerjaan Rumah) untuk mereka, atas permintaan mereka, agar kami bertemu lagi di hari esok ungkap anak-anak, yang membuat aku dan Alivy semakin tertawa lepas. Kami pun membuat kesepakatan untuk kembali belajar lagi, di hari Senin, Selasa, Sabtu dan Minggu. Sorak gembira pun pecah di ruang Musholah.

            Beberapa dialek pun bahasa yang digunakan anka-anak, masih tergolong 80% bahasa Jawa, yang di kombain dengan bahasa Indonesia baku, bagi anak-anak yang telah memasuki SD (Sekolah Dasar). Hal ini sedikit menyulitkan bagi Alivy, namun syukurnya aku dapat berbahasa Jawa dengan baik, sehingga ini akan sedikit mempermudah pendekatan kami, hehe. Aku bersyukur bisa berbahasa Jawa, pun berbagi dengan anak-anak ini, di tanah Jawa. Tak ada yang salah, dengan terlahir di daerah dengan mayoritas penduduk transmigrasi dari pulau Jawa, membuat ku memahami bahasa Jawa, terlebih dahulu, dari pada bahasa Indonesia. Itulah yang ku lihat di mata mereka, sama persis seperti kisah masa kecil ku dahulu.

            Ketika kami hendak pulang, setelah kelas berakhir, mereka belum mengizinkan kami untuk kembali. Aku dan Alivy pun mengalah dan mengikuti permintaan mereka, untuk bermain bersama di halaman depan Rumah Lansia. Tak terelakkan, seketika kami melupakan seluruh beban dan kepenatan yang pernah bertandang, sebelum kesini. Tawa lepas yang tak henti-hentinya mengalir, dekapan yang kian erat, membuat mereka sukar untuk melepaskan kami, hehe.

            Tanpa di sadari, kami telah berada di penghujung hari, pancaran rona oranje telah hadir, sebagai pertanda sebentar lagi ia akan menjemput malam. Cara berpamitan paling sempurna yang kerap menyisakkan rindu, untuk kembali menemui senja pada esok hari. Sama halnya seperti kita yang selalu mendambakan pertemuan selanjutnya, setalah mengalami perpisahan, namun semua itu, hanya sebatas keinginan, tanpa pernah tahu, bagaimana baiknya menurut Tuhan ku. Apakah ia berkenan? Apakah ia masih memberi ku kesempatan? Tak ada yang pernah tahu.

            Aku selalu berharap, semoga ini bukan akhir dari menatap senyum dan tawa mereka yang membuatku kerap melebur bersama mereka. Pulih yang sesungguhnya, dengan merangkul, mendekap mereka ketika bisa belajar bersama, tak lagi ku temui kutukan yang sering ku lakukan pada diri yang selalu di hantui gemerlap tuntutan isi kepala. Di sinilah, aku menemui segala alasan untuk pulih. Terimakasih untuk cinta yang tulus, kasih yang sempurna dan rasa yang paling baik, dengan se-apa adanya kalian.

Pare, 27 Februari 2022

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts