Menelisik Privilege

Oktober 22, 2021

 

 

                    dok pribadi/Maulana

            Hai minggu, kau masih menjadi pilihan diantara rentang hari lainnya. Kau masih yang terindah saat fajar menyingsing hingga mentari yang mulai berpamitan. Kau elok nan menawan hingga hati ku tertawan pada lekuk langit dan aroma asin yang menyergapku di pesisir pantai Kastela. Entah berapa banyak kisah yang akan ku tulis tentang tawa ku bersama anak-anak di sini, mungkin aku tak lagi dapat menghitungnya, bukan tentang kemegahan, melainkan rasa yang terus di sulam nyaris tak berhenti hingga, yang tersisa akan tumbuh dalam jiwa-jiwa yang terus menghembuskan nafas yang penuh cinta.

            Alam begitu ramah menyambut kedatangan kami, sejak pertama. Senandung nyanyian alam terus berujar tentang cinta yang lahir dari pertemuan kami di pantai ini. Deru ombak, kicauan burung, semilir angin dan tawa para anak pantai, bukankah itu merupakan senandung irama yang lahir dari alam pun melankolis? Semburan mentari yang kerap menemani setiap akhir pekan, adalah salah satu restu alam yang masih terjaga hingga kini.

            Aku tak pandai berujar mantra di antara rimbunnya pepohonan, aku tak pandai bernyanyi saat deru ombak yang pecah di antara karang-karang, aku tak pandai menari disaat terpaan angin mulai merebak dahan. Namun, aku hanya ingin berdamai dengan alam, menghirup udara laut, menikmati terpaan angin yang menembus celah pepohonan, dan menikmati hangatnya mentari yang membelai kulit ari.

***

            Hari ini, tepatnya minggu ke-9. Pertemuan yang di rencanakan setiap minggunya, cerita yang berbeda terus mengalir setiap pekan. Cinta itu masih terus tumbuh dengan subur, rasa itu masih terus sama, hingga kini. Pertemuan rutin yang terencana ini masih terlaksana hingga sejauh ini, atas keinginan dan panggilan hati yang menggebu, dan rindu yang semakin lebat setiap harinya.

            Pagi ini kelas literasi dilaksanakan seperti biasanya, ketika kami telah sampai, kami pun menggelar terpal, menggelar buku hingga memajang poster diantara dahan-dahan pohon yang berada disekitar kelas.

Pagi ini aku tiba di pantai lebih awal, mendapati beberapa aktivitas mahasiswa yang memenuhi area wisata pantai Kastela sebelum memasuki area Dodoku Dive Center. Dari kejauhan, aroma laut telah merambat memasuki area bronchus, semilir angin mulai mendekap perlahan, mentari yang masih tampak malu-malu, mulai membelai lembut ubun-ubun.

            Aku melangkahkan kaki menuju lantai dasar bangunan Dodoku, dimana tempat penyimpanan instrumen kelas. Dengan langkah yang tak gentar, perlahan memasuki ruangan tersebut, memeriksa beberapa buku, memastikan tak ada yang tercecer untuk dibawa ke area kelas, untuk digelar. Aku pun menghampiri poster-poster yang telah di kemas ke dalam plastik yang berukuran besar untuk melindungi bagian sisi poster agar tidak basah ketika terkena air. Aku mulai menjinjing poster-poster tersebut, melangkahkan kaki menuju area kelas, tak berselang lama, aku melihat Kak Dea telah berjalan menuju ke arah ku, dengan senyum hangat khasnya, ia menyambutku dengan obrolan ringan, aku pun menyambutnya dengan saling bertukar tanya tentang beberapa aktivitas.

            Area kelas masih dibersihkan oleh beberapa teman-teman dari Dodoku, yang memiliki perhatian dan cinta terhadap alam. Sambil menunggu aku dan Kak Dea menyapa beberapa anak yang melintasi area Dodoku yang dijadikan jalan untuk menyebrang ke RT sebelah yang di tandai dengan tempat wisata yang seringkali ramai dikunjungi para anak muda hingga orang tua, untuk menikmati senja yang mengagumkan.

***

            Kelas telah dimulai, ketika aku dan Kak Dea telah selesai memajang poster di bagian-bagian dahan pohon yang dapat digunakan sebagai penyanggah, buku yang telah digelar diatas terpal, dan buku gambar serta kertas yang mulai berserakan diatas terpal akibat aktivitas menggambar dan mewarnai oleh kebanyakan anak telah di mulai. Beberapa anak memulai kelas dengan menggambar terlebih dahulu, sebagian meminta di bacakan buku atau ditemani belajar, dan selebihnya akan diberi tantangan oleh Kak Dea mengisi perkalian yang telah di tulis Kak Dea di atas kertas gambar. Anak-anak sungguh antusias akan aktivitas kelas yang kerap dilakukan dengan tiga hal sekaligus. Mulai dari membaca dan belajar bersama, menggambar dan mengisi perkalian. Luar biasa bukan?


                  dok pribadi/Maulana

            Ketika sedang menemani anak-anak belajar, aku menangkap dua sosok yang berjalan menghampiri kami, sambil bercerita tentang aktivitas kami, mereka adalah Bang Cecep dan Kak Apul. Bang Cecep yang telah terbiasa kesini menikmati pagi di pantai Kastela sembari mengamati aktivitas kelas, kali ini beliau tak datang sendirian lagi, melainkan membawa seorang kawan yang hebat yakni, Kak Apul ini.

            Setelah beberapa jam berlalu, aku menangkap sosok yang tak asing, yakni Sahrul salah seorang relawan yang gemar menemani anak-anak menggambar. Kali ini ia datang agak terlambat, namun tak mengapa, kelas masih terus berlangsung hingga ia datang dan menemani anak-anak menggambar aneka hewan dan tumbuhan yang digemari.

                          dok pribadi/Nia

            Riuh gelak tawa anak-anak memenuhi udara sekitar, kicauan burung masih terdengar samar-samar di antara tingginya dahan pohon yang munjulang tinggi. Aku masih menemani anak-anak membaca dan belajar, Kak Dea masih melakukan aktivitas yang sama, Sahrul pun demikian, ia masih menemani dan membantu anak-anak menggambar dan mewarnai.

                                     




                      dok pribadi/Nia

***

            Ketika kelas telah berlangsung lebih dari 3 jam, Pak Maulana menghampiri kami, ia bersama Kak Apul. Kali ini Kak Apul akan bercerita, dan isi cerita tersebut bertujuan menguji konsentrasi kami, dengan beberapa aturan main, akhirnya cerita tersebut di selesaikan tanpa ada yang melewatkan aturan tersebut, alias semua orang masih  berkonsentrasi. Wah, seru bukan? ternyata kami masih berkonsentrasi dengan baik pada hari ini, meskipun telah melaksanakan kelas lebih dari 3 jam. Kak Apul kali ini tidak hanya datang dan bercerita serta mengamati kelas ini. Namun, ada yang lebih istimewa yakni, ia mampu menebarkan energy positif kepada kami semua. Melalui perkenalan serta cerita yang dibawakan oleh Kak Apul itu sendiri. Semoga Tuhan berkenan untuk mempertemukan kami di masa depan kelak. Aamiin.


                    dok pribadi/Maulana

            Setelah kelas cerita yang dibawakan oleh Kak Apul, kami melanjutkan aktivitas membaca dan menggambar. Anak-anak mulai terlihat bosan pada menit ke-30, beberapa anak mulai menggelar permainan ular tangga, aku dan Sahrul mulai mengajak beberapa anak yang telah menyelesaikan gambarnya untuk bermain kereta-kereta dengan berjalan mengintari poster-poter yang dipajang, aku dan Sahrul akan mulai membacakan isi pesan poster tersebut dan mengajarkan pesan tersebut kepada mereka. Mereka berjumlah 3 anak yaitu, Ais, Dani dan Alfatar. Poster-poster tersebut beragam, mulai dari kehidupan hewan-hewan laut hingga sejarah benteng Kastela, Gusungi pun Sagu.

            Ketika kami membacakan isi pesan tentang hewan-hewan laut, salah satunya Penyu. Ketiga anak tersebut bersemangat sembari bercerita bahwa mereka pernah menemui si Penyu di dasar laut. Aku pun bertanya tentang kemampuan berenang yang mereka miliki, mereka tersenyum sembari mengatakan “Tong bisa batobo Kakak, tong basalto dalam air me bisa” ketika selesai berujar kalimat tersebut, si Dani pun melakukan salto depan dengan penuh semangat. Mereka pun bercerita bagaimana menjadi anak pesisir mengajarkan mereka hidup berdampingan dengan laut, menjaga dan menjadi bagian dari hidup mereka. Sejak kecil mereka telah merasakan badai akibat bermukim di pesisir, merasakan dinginnya udara malam dan pagi hari sekitar pesisir, bermain di atas panasnya pasir di siang hari, berenang di saat panas dan hujan, dengan wajah yang berseri mereka pun menyatakan senang menjadi anak pesisir, membuat mereka tidak takut dengan laut, yang telah menjadi bagian dari diri mereka.

            Aku yang bukan merupakan anak pesisir, memiliki pengalaman masa kecil yang berbeda. Aku takut dengan luasnya laut, dalamnya laut, akibat tidak pandai berenang bahkan badai yang datang dari laut merupakan petaka bagi ku, tak pernah tenang aku menghadapi kehidupan sebagai anak pesisir. Namun, menjadi anak pesisir dan kehidupan yang dialami saat ini, membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih tangguh, kokoh dan tak mudah rapuh. Sama halnya dengan kedua reptil yang telah menjadi anak piara, alias peliharaanku di kamar, mereka tak lagi se-agresif dahulu, telah terbiasa hidup dengan ku, pun sentuhanku tak lagi dianggap bahaya, mereka tak lagi se-waspada seperti waktu di alam, jika saat ini ku lepaskan mereka kea lam, mereka tak lagi sekuat dahulu, bahkan mungkin tak lagi dapat bertahan hidup karena, kekuatan yang telah berbeda. Untuk bisa terus hidup di alam, mereka harus menjadi pribadi yang kuat sebagai tanda agresif yang dikenal. Mereka yang terbiasa dengan kehidupan pesisir yang jauh lebih menantang, daripada anak-anak lainnya, ini yang membuat mereka berbeda, mereka lebih kokoh. Semua itu merupakan Privilege. Apapun yang kita dapatkan, alami dan lakukan kelak di masa depan kita harus sadar bahwa semua itu Privilege, tak semua orang bisa mendapatkan itu. Privilege yang akan membentuk kita di masa depan. Privilege bukan hanya tentang materi tetapi, apapun yang kita dapatkan dan membentuk kita di masa depan, itu merupakan Privilege.

                      dok pribadi/Nia 

            Ketika kelas akan berakhir, beberapa anak yang sedari tadi menunggu Kak Iin, akhirnya mengikuti langkah Kak Iin menuju ke area kelas. Nah, ini dia, minggu lalu, Kak Iin berjanji untuk memberikan hadiah pada mereka yang menang bermain ular tangga, mereka pun menagih janji tersebut, wah memang yah, anak-anak, sekali di janji pasti takkan dilupakan, hehe. Kak Iin pun memenuhi janji tersebut. Kak Iin membawakan buku gambar, buku cerita pun dilengkapi dengan pensil dan penghapus. Riang gembira anak-anak pun tergambar melalui wajah mungil tanpa beban tersebut. Senyum yang merekah, memenuhi wajah mereka, gelak tawa beradu dengan ucapan terimakasih terhadap Kak Iin.


***

            Pada pekan ini, aku bertemu seorang teman yang dikenalkan oleh Pak Maulana, yakni Om Man, begitu aku menyapanya. Beliau merupakan sutradara dan tentunya pengalaman beliau membuatku menyematkan suatu gelar yakni, “Guru” aku bersyukur bisa mengenal dan bertukar cerita tentang beberapa hal, sebagai awal perkenalan tentang dirinya terlebih dahulu. Kami pun menjadi akrab atas restu keadaan, dengan berlangsungnya makan siang bersama, beberapa lelucon pun terselip di dalam percakapan kami, kelas pun diakhiri dengan senyum hangat, kepuasaan tersendiri yang tak ternilai dan makan dengan tubuh yang tak merasakan lelah.

                dok pribadi/Maulana

               Makan siang bersama


Ternate, 17 Oktober 2021

 

           

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts