Rindu yang Belum Usai
Oktober 25, 2021dok pribadi/Nia
Dering smartphone membuat
mimpi ku usai seketika, tanpa tahu seperti apa akhir yang seharusnya. Entah
berapa banyak kopi yang ku teguk semalam, rupanya semua kafein itu tidak
bekerja dengan baik untuk tubuh ku. Aku pun terlelap lebih awal. Mungkinkah,
aku ingin melewatkan malam lebih cepat untuk bertemu pagi dengan segera? Entahlah,
hari minggu masih menjadi rindu yang tak pandai ku tata, riuhnya masih menjadi
pemenang diantara semua rasa yang begitu karsa.
Hari ini, tepatnya pukul 04:35 WIT,
aku telah terbangun, ini adalah salah satu rekor terbaru dalam menebus rindu di
akhir pekan. Beberapa pekerjaan domestik pun ku lakukan tanpa tergesa-gesa,
mengingat bangun lebih awal memang hal yang baik untuk menyelesaikan hal-hal
yang dapat dilakukan terlebih dahulu sebelum meninggalkan kediaman penuh cinta
ini.
***
Pukul 06:40 WIT, aku telah
meninggalkan indekos, mengendarai sepeda motor menuju ke arah selatan, melewati
batas kota, hingga ke memasuki area pesisir pantai Kastela. Mentari belum
sepenuhnya menerpa tubuhku, indera penciuman ku telah lebih dulu di sergap
aroma asin yang berasal dari laut, udara yang sejuk di liputi embun yang mulai
berguguran menembus kulit ku perlahan. Isi kepala yang kian damai dengan
keadaan sekitar membawa sukma ku menembus cinta yang purna pada bibir pantai
yang teduh, rimbunnya pepohonan dan gemercik kicauan burung.
Langkah ku lambat laun melaju ke
arah pintu utama lantai satu bangunan Dodoku Dive Center, seperti biasa, aku
memeriksa buku-buku serta perlengkapan kelas lainnya. Ketika menjinjing poster
serta dadu, aku mendongak keluar, disertai langkah kaki yang membawa ku ke area
kelas, dari kejauhan Ula mencoba menuju ke arah ku sembari menanyakan adakah
yang bisa di bantu? Aku pun melempar senyum dan berterimakasih atas tawaran
tersebut. Dengan senang hati, ia membantu membawa kotak yang berisi buku dan
berjalan beiringan denganku, di tengah perjalanan ia menanyakan beberapa hal
tentang ku, dan Kakak-kakak relawan lainnya, aku pun menjawab dengan lirih, ia
kembali tersenyum menyambut jawaban dari bibirku.
Aku mulai memajang poster diikuti
oleh Ula. Ula merupakan salah seorang anak pesisir pantai Kastela yang gemar
datang pada kelas literasi di akhir pekan ini setiap minggunya. Ia amat rajin,
membantu pekerjaan Bang Jab, juga para relawan di kelas literasi ini. Hingga
saat ini, Ula belum pernah absen menghadiri kelas literasi.
Ketika usai memajang poster,
menggelar buku-buku, aku dan Ula mengajak beberapa anak yang melewati kelas
untuk bergabung, dan belajar bersama. Beberapa menit kemudian, sekumpulan anak-anak
mulai bermunculan dan membaca buku, sebagian anak-anak meminta kertas dan
pensil untuk mulai menggambar. Tak lama kemudian Cindy yang merupakan salah
seorang relawan datang dan menghampiri ku, ia pun bergabung dan membantu
beberapa anak untuk membaca dan mulai mewarnai gambar. Tak berselang lama,
sejak kedatangan Cindy, di susul oleh kehadiran dua orang relawan lainnya
yakni, Joshua dan Sahrul.
Riang gembira anak-anak menyambut kedatangan kedua lelaki yang dianggap handal dalam membantu mereka menggambar, terlebih si Joshua datang dengan perlengkapan cat air yang siap mengajarkan mereka melukis dan mewarnai gambar, tak terkira lagi kebahagian di hati mereka, yang mulai terlukis dari garis senyum yang mulai merekah pun mengembang di pipi.
Benar saja, kedatangan Joshua dan
Sahrul telah membantu anak-anak dalam hal menggambar, tak sampai disitu,
beberapa anak yang telah menyelesaikan gambar mengajak kedua Kakak ini bermain
bola bersama sebelum akhirnya kembali melukis lagi.
***
Cat air telah ditambah sedikit air
untuk menurunkan kadar kepadatan isi cat, beberapa kertas telah dipenuhi aneka
warna yang disajikan oleh Kak Joshua, anak-anak bersemangat meminta Kak Jo
menggambar aneka karakter, dan mereka siap menerkam ragam kuas yang tersedia,
dengan menggunkan media kertas HVS namun, itu tak mematahkan semangat mereka,
walaupun tanpa kanvas mereka bersemangat bak melukis diatas kanvas yang megah.
Dengan peluh yang belum tersamarkan di dahinya, Jo terus saja menggambar berbagai
permintaan anak-anak tersebut, sembari mengajarkan mereka mewarnai
gambar-gambar tersebut dengan menggunakan kuas secara baik.
Beberapa anak telah lebih dulu
menggelar permainan ular tangga, dengan riang mereka saling meminta antrian
untuk melempar dadu, aku bersama Cindy terus membantu mereka dalam mengantri
pun bermain dan menjawab tantangan pada beberapa kotak yang tersedia. Beberapa
anak berseru ketika menemui tantangan pada pijakannya, dengan bersemangat
mereka menjawab tantangan tersebut, beberapa anak mulai ragu dengan jawaban
mereka, kami pun membantu menjawab, dengan harapan menjadi pengetahuan
khususnya untuk mereka. Beberapa tantangan yang memerlukan jawaban dalam bahasa
Inggris, masih terasa sulit untuk mereka, beberapa hafalan seperti Pancasila
dan lagu-lagu kebangsaan pun demikian, aku pun kembali membantu dan berharap
mereka dapat mengingatnya.
dok pribadi/Nia
Bermain ular tangga
***
Kelas telah berlangsung cukup lama,
sebentar lagi kelas akan usai namun, sebelum menemui penghujung kelas, gerimis
telah lebih dulu menjemput, di susul hujan yang tak memungkinkan untuk
dilanjutkan sebab hujan. Beberapa anak yang tengah asyik mewarnai gambar, pun
terlihat kecewa, dengan wajah yang beranjak ditekuk, sorot mata yang sedih,
mereka pun akhirnya harus meninggalkan kelas dengan sesal di dada. Beberapa
anak pun menanyakan keberadaan kami esok hari, Pak Maulana pun menjelaskan
perihal Kakak-kakak relawan yang tak dapat melaksanakan kelas pada hari senin
sebab, kesibukan mereka dimulai sejak senin, ada yang berkuliah pun bekerja.
Mereka pun setuju, kami akan kembali bertemu pada hari minggu, pekan depan.
Dengan wajah yang masih mengisyaratkan kekecawaan dan berat hati meninggalkan
area kelas, mereka pun berjalan dan terkadang kembali menengok ke belakang,
menatap para relawan penuh haru biru.
Hujan membawa kami pada pelataran
lantai dua bangunan Dodoku Dive Center. Kedatangan
pak Maulana yang agak telat pada hari ini sekaligus beliau mampir untuk
mempersiapkan makan siang kami. Kami pun melaksanakan makan siang secara
bersama-sama sembari melakukan evaluasi, seperti biasa, diakhir kelas tubuh
kami tak lagi mengenal lelah saat mengakhiri kelas namun, lebih merasa puas
akan rindu yang terbayarkan. Mungkin ini yang disebut dengan “rindu sama dengan
dendam, harus dibayar tuntas” ungkap Mas Eka Kurniawan. Bagaimana jika rindu
yang terbayarkan terus menghasilkan rindu lagi? Maka, selalu ada alasan untuk
kembali bertemu dan membayar rindu secara tuntas.
0 comments