Menyusuri Pintu Rezeki Ternate-Banyuwangi

Juni 08, 2022

 

dok pribadi Nia

Mutiara Pulau Tabuhan Banyuwangi- Ketika aku bersama teman-teman hendak mendaki Kawah Ijen, kami mampir ke dua destinasi wisata, sebelum akhirnya melaju ke Kabupaten Bondowoso, pada sore hari. Sesuai jadwal yang di berikan oleh pihak travel yang di wakili oleh seorang supir jetbus yang membawa kami dan rombongan pelanggan lain menuju tujuan bersama. 

Pada perjalanan awal dari desa Tulungrejo, kecamatan Pare, kabupaten Kediri, kami menuju Taman Nasional Baluran di kecamatan Banyuputih, kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Perjalanan berawal pada malam hari pukul 22:00 WIB. 

*** 

 

            Ketika tiba di pantai Mutiara Pulau Tabuhan, aku seorang anak yang berasal dari Timur Indonesia, begitu girang melihat pantai, menghirup aroma laut, berseru pada Abang Jo, seorang teman yang juga tertarik untuk snorkeling bersama. Aku pun tak sabar untuk segera melakukan snorkeling dan melihat keindahan bawah laut. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, aku pun mengganti pakain renang, dan siap snorkeling bersama Abang. Kami pun menuju laut dan segera snorkeling. 

dok pribadi Nia


            Setelah sekian lama snorkeling di bawah terik mentari yang cukup membakar kulit, aku tak peduli dengan sengatan matahari yang di takutkan oleh si Miftah teman ku yang tak ingin berenang di pantai ini namun, pada akhirnya is pun renang akibat paksaan dan tarikan hebat dari Laoshi Darwis, hehe. Walaupun berakhir dengan benturan pasir yang cukup kuat dan membuat lutut mulusnya berubah menjadi biru keungunan pada lingkaran kecil sekitar samping lutut. 

            Beberapa kali kami beristirahat, meneguk air mineral, makan bakso dan menyantap beberapa makanan yang telah di persiapkan sejak sebelum keberangkatan. Beberapa saat kemudian, ada beberapa nelayan yang memiliki rumah terapung di tengah laut, mengajak kami ikut bersama mereka di perahu menuju tempat tersebut, yang dianggap baik untuk snorkeling dan melihat aneka ikan yang terkesan indah dan beragam. Kami pun ikut bersama mereka, sungguh baik hati mereka. Mungkin mereka paham isi hati kami yang merindukan laut dan aneka kehidupan bawah laut yang begitu cantik dan terasa rugi bila telah tiba di pantai namun melewatkannya.

dok pribadi Nia
gambar diambil dari atas rumah terapung.


***

            Ketika aku selesai snorkeling, dan hendak ganti baju, aku memilih kamar mandi yang tadi ku pilih untuk mengganti baju sebelum terjun ke laut. Dari sederetan kamar mandi, entah mengapa, hati ku terpaut pada satu kamar mandi yang letaknya di tengah, padahal ada barisan kamar mandi yang lebih dekat dengan jetbus kami. 

            Setelah mandi dan mengganti baju, aku menitip ransel milikku yang berisi beberpa potong baju serta perlengkapan skincare secukupnya. Aku permisi untuk balik ke arah pendopo dimana ada Miftah di sana bersama beberapa barang-barang kami, aku pun ke sana untuk mengambil tas ku yang berisi uang tunai, yang hendak ku gunakan untuk membayar jasa kamar mandi. Setelah kembali, aku langsung memberikan sejumlah rupiah sesuai nominal yang telah di tetapkan dan terpampang jelas pada tembok depan kamar mandi. 

            Setelah membayar, aku mengeringkan rambut dengan handuk yang berukuran mini, alias khusus untuk mengeringkan rambut yang biasa ku gunakan. Bapak penjaga kamar mandi menanyakan asal ku dari mana, katanya wajah ku berbeda dengan orang jawa pada umumnya, “Hidung kamu mancung, kulit mu sawo matang dan mata mu indah, pasti kamu blasteran suku Maluku ya?” ucapnya, aku tersentak dan mengangguk, sambil sibuk mengeringkan rambut, sesekali mengecek perlengkapan body lotion dan sekawanannya dalam ransel. 

            Ketika aku telah selesai dengan rambutku, aku balik menanyakan asal bapak tersebut, karena aku menangkap gelagat tubuhnya yang tak pernah di gerakan, ia selalu meminta bantuan para pengunjung untuk membuka pintu kamar mandi setelah selesai digunakan, untuk menyanggah dengan sebuah benda yang tersedia di lantai kamar mandi yang memang di gunakan untuk mengganjal pintu agar tidak tertutup dan menimbulkan bau tidak sedap akibat pengap dan kurang cahaya matahari serta tidak ada sirkulasi udara. 

            Beberapa saat kemudian, aku dan si bapak penjaga kamar mandi tersebut telah larut dalam obrolan ringan, hingga sampai pada saat ia menceritakan kerinduannya akan kampung halamannya di kota Ternate, ternyata ia berasal dari provinsi yang sama denganku, makanya ia mudah mengenali wajahku sebagai orang Timur, hehe. Ternyata alamat si bapak di kota Ternate berdekatan dengan rumah ku. 

            Pak Mualimin namanya, ia berkata awal datang kesini, akibat ajakan seorang teman yang di kenal dan di percaya sebagai orang baik, pada tahun 1974. Berselang dua tahun kemudian, di pulau Tambuhan ini, ia menemukan tambatan hatinya, ia pun menikahi gadis pujaannya, dan di karunia 4 anak. Namun, ia di rundung pilu, ketika kedua anaknya meninggal dunia, dan ia hidup bersama dua anak lainnya dan sang istri tercinta, dengan pekerjaan seadanya, alias serabutan, ia beberapa kali menyempatkan diri untuk kembali ke kota Ternate bertemu sanak saudara, sebagai pelipur lara akan kerinduan  terhadap tempat dimana is di lahirkan  dan bertumbuh. 

            Pak Mualim begitu biasanya ia di sapa, ia bercerita bahwa, akhir-akhir ini ia membantu pekerjaan anaknya, menjaga kamar mandi ini, agar anaknya dapat melakukan pekerjaan lainnya sekaligus memasak dan merampungkan pekerjaan domestik lainnya di rumah. Anaknya seorang gadis yang sebaya dengan ku, ketika ia melihatku jadi teringat akan putrinya yang tengah berada di rumah, begitu tuturnya. Aku menanyakan kabar sang istri, namun seketika raut wajahnya sendu, aku melihat sorot matanya yang tak lagi prima mulai berkaca-kaca, pertahanannya pun runtuh, ia menyapu air yang mengalir dari sudut matanya. “8 tahun terakhir istri saya terkena stroke, dan 4 tahun terkahir saya terkena stroke juga, istri saya menghembuskan nafas terakhir tepat pada 135 hari yang lalu, selama terkena stroke ia tak dapat bergerak dan berbicara, anak perempuan saya yang merawat dan memenuhi semua kebutuhan kami (saya dan istri), beberapa tetangga memberi bahan-bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, para tokoh masyarakat dan agama turut menyumbang rezeki semampunya” tuturnya, hati kecil ku begitu tersentuh, melihat sang bapak bercerita dan menatap raut wajah yang semakin di renggut usia, rasanya aku adalah pendosa yang tak pernah pandai mensyukuri nikmat sehat yang di beri oleh Tuhan ku.

            Aku dan bapak Mualim bercengkerama lebih dari 20 menit, ia berkisah tentang bagaimana ia percaya pintu rezeki selalu bersama orang yang mau berusaha, dan berdoa. Tak henti-hentinya ia mendoakan ku, agar selamat, memperoleh pekerjaan yang baik dan bertemu jodoh yang baik dan dapat menhargai kerja keras ku. Ah, ingin rasanya aku memeluk sang bapak yang banyak memberi ku kesadaran akan hidup yang sudah seharusnya di syukuri tanpa tapi. 

            Aku menangkap pesan, bagaimana sang bapak yang teguh pendiriannya, ingin tetap bermanfaat, dengan mengambil alih pekerjaan sang anak dengan tujuan meringankan sedikit beban sang anak, yang seharusnya sekarang bisa mengenyam pendidikan  seperti anak-anak lainnya. Taka da yang bisa di lakukan selain menjadi penjaga kamar mandi di tempat wisata ini. Hanya ini yang bisa ia lakukan dengan keterbatasan gerakan yang tak lagi prima. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa pak Mualim dan mempertemukannya kelak dengan sang istri tercinta di surga-Nya. 

            Ia rela duduk dari pagi hingga malam, bahkan tidur di tempat ini setiap malam, untuk menarik tarif bagi pengunjung yang menggunakan jasa kamar mandi. Aku pun membayangkan bagaimana udara dingin angin malam yang menembus tulang dan menyisakkan sakit dan ngilu pada tubuh sang bapak ini, namun ia tetap bersiteguh untuk membantu putrinya bekerja, sebisa yang ia dapat lakukan. 

            Di usianya yang senja, ia tetap ingin menebar manfaat bagi orang lain, tak ingin terus membebani orang lain dengan keterbatasan tubuhnya saat ini, akibat di terpa stroke. Niat tulus dan segala doa-doanya, semoga Tuhan mendekapnya lebih erat, ketika tangan-tangan manusia tak lagi dapat mendekapnya. 

            Aku pun meminta izin untuk mengambil gambar pak Mualim, ia pun bersedia dan aku memotretnya, ia pun menyampaikan rasa syukurnya dapat bertemu dengan orang Timur terlebih dari kota Ternate, yang dapat menjadi obat akan kerinduaannya terhadap kampung halamannya, yang mungkin tak lagi dapat ia kunjungi hingga menutup usia. 

 

Kediri, 09 Juni 2022.

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts