Desa Seribu Kenangan

September 08, 2021

                 

 

Dok pribadi/Nia

            Pagi. Ketika aku terbangun, ada seperkas harapan dan ingatan, hari ini rabu, 18 Agustus 2021 aku hendak melakukan perjalanan ke tempat yang mana hidup cerita rakyat yang mengaliri masa hingga saat ini. Gua Boki Maruru, salah satu tempat yang saat ini tidak hanya dikenal karena, hikayat yang di yakini warga desa Sagea ini, melainkan telah banyak dikenal luas akan keindahan alamnya yang begitu mempesona.

            ***

            Pada batas antara pukul 10:00 WIT, aku telah menyiapkan beberapa hal yang perlu di bawa untuk pergi ke tempat yang telah ku rencanakan dengan persetujuan anggota keluarga di rumah ini. Tidak hanya aku yang ingin mengunjungi tempat tersebut, kakak perempuan ku serta suami dan anak-anaknya, kami pun setuju untuk melakukan perjalanan dengan menggunakan sampan dengan menyusuri sungai dan menikmati pemandangan sekitar hingga pada sisi Gua yang hanya bisa di tempuh dengan kendaraan laut untuk mengarungi isi Gua.

            Semua perlengkapan untuk mempersiapkan makan siang yang hendak di laksanakan pada tempat yang tuju ini, memungkinkan kami harus menyiapkan banyak hal, mulai dari kayu bakar, besi penyanggah ikan untuk dibakar, hingga sekumpulan bumbu yang digunakan sebagai pelengkap sajian ikan bakar, tak lupa pula nasi yang telah matang, pun sagu yang selalu menemani makan siang.

            Setelah semua barang yang dibutuhkan telah siap diangkut dari rumah, menuju sampan, kami pun bergegas mengambil posisi aman dan nyaman untuk segera melaju mennyusuri sungai. Tak sabar melihat sekelili sungai dengan pemandangan menakjubkan yang jarang ku temui di kota Ternate, ini membuat adrenalin ku kembali stabil, pikiran yang telah lama di balut stress pun berangsur-angsur menyusut.

            Tak lepas dari pemandangan pepohonan sagu yang begitu menghijau, kelapa yang daunnya begitu silau akibat zat hijau daun yang terpapar sinar mentari dan berlangsungnya proses fotosintesis beserta dedaunan hijau lainnya. Tak pernah membosankan menyusuri sungai dengan suguhan alam yang masih terjamah oleh mata yang di balut hijaunya rerumputan dan tumbuhan sekitarnya.

Dok pribadi/Nia

            Aliran sungai yang tenang menambah nuansa ketenangan bagi jiwa yang lelah akibat tuntutan dunia. Tak lepas dari rerimbunan pohon yang menghampar sepanjang sisi sungai, kicauan burung yang saling bersahut-sahutan menandakan tempat ini masih aman sebagai tempat melangsungkan hidup dengan segenap aktivitas di dalamnya.

            Di tengah perjalanan sebanyak dua kali, kami harus menghentikan perjalanan akibat terdapat air yang dangkal pada beberapa tempat yang telah di penghuni pasir pada permukaan sungai, hal ini mengharuskan kami yang menduduki sampan, turun dan melakukan perjalanan kaki hingga beberapa meter kedepan melewati air yang dangkal ini lalu, kami pun kembali melakukan perjalanan menyusuri sungai dengan sampan kembali.


Dok pribadi/Nia

***

Ketika memasuki gerbang Gua, sebagai penanda area bagian dalam dan luar, kami pun terus melaju dengan sampan hingga melewati pantulan sinar mentari yang menerangi bagian depan, dan tibalah pada sisi dalam yang mulai tersamarkan cahaya matahari, kegelapan mulai mendiami tempat yang tak terjamaah oleh matahari ini.

Riuh suara burung memenuhi bagian dalam Gua, tetesan air akibat penguapan menetes bak hujan yang terasa lebih dingin. Tak ada yang lebih riuh selain kicauan burung yang tak pernah terlihat burungnya.

       Dok pribadi/Nia 

Rasa takut pun kembali menggelayut pada sekujur tubuh ini, memungkinkan aku ingin segera segera meninggalkan peraduan yang begitu gelap dan tak terlihat oleh mata telanjang. Aku pun akhirnya menyampaikan hal tersebut pada kakak lelaki ku yang berada pada ujung sampan sebagai pengendali. Akhirnya mereka pun dibuat tertawa sekonyong-konyongnya, mereka pun berkata “berani rescue ular tetapi, takut kegelapan Gua” sambil terbahak-bahak mereka pun menuruti permintaan ku, aku yang telah takut akhirnya merasa kembali baik-baik saja ketika, sampan yang membawa kami dari dalam Gua keluar melaju melewati batas antara kegelapan dan bagian luar yang telah di sambut oleh mentari yang tak tanggung-tanggung menyambar sisi Gua yang bisa di terobos.

Setelah tiba pada bagian luar Gua, kami pun menuju pada gundukan pasir yang berada pada sisi kiri aliran air yang mengalir dari dalam Gua. Persiapan makan siang pun telah kami persiapkan, dengan menumpuk kayu bakar yang telah dibawa, rempah yang telah dibersihkan dan iris secara merata telah di cuci bersih dan di tiris hingga di buat menjadi pelengkap makanan yang membumbuhi ikan yang telah di bakar, dengan sajian nasi pun sagu yang menjadi pilihan ketika lebih suka makan sagu.

Serangkaian makan siang bersama pun berakhir dengan ada yang memilih berenang-renang di sisi sungai, mendayung dengan beberapa boat kecil yang tampak asik bermain-main di sekitaran Gua yang di jangkau dengan boat ini. Aku sendiri memilih menikmati pesona ala mini dengan menggunakan boat yang dilengkapi dengan dayung. Berkeliling pada sisi depan Gua dengan menggunakan boat ini terasa begitu tenang,nyaman dan asik, hal ini membuatku ingin lebih lama bermain-main diatas air sungai ini dengan menggunakan boat ini.


Ketika sedang seru menikmati pemandangan Gua yang tampak begitu memukau dan air nya yang sejuk ketika melintasi kulit pun segar di pelupuk mata, mata ku pun menangkap sosok lelaki yang ku kenal yang mana berada pada boat yang tak jauh dari tempat ku mendayung, ternyata ia pun menyadari bertemunya mata kita yang saling menyadari satu sama lain, ia pun terkejut dan sontak memanggil nama ku, hah yang benar saja aku bertemu teman lama ku di sini. Ketika selesai bermain-main dengan boat, aku pun kembali pada gundukan pasir yang masih terdapat perlengkapan makan siang kami, di susul oleh teman lama ku, dengan wajah berbinar kami pun sama-sama tak menyangka bertemu di tempat yang tak pernah di rencanakan. Percakapan pun mengalir di antara kami, bertukar kabar dan hal-hal lainnya.

Mentari pun menunjukkan tanda-tanda hendak berpamitan, kami pun melangkahkan kaki menuju jalan menemui sampan untuk kembali pulang, dengan menyusuri sungai perjalanan yang menyenangkan di atas sampan jadi tak pernah menjemukkan, kicauan burung masih terdengar saling bersahutan, terik mentari masih menyinarkan cahayanya, hamparan pohon yang menghijau membuat pernafasan kami jauh lebih baik dengan kandungan oksigen yang diberikan.

*** 

Sagea, merupakan tempat yang selalu ku rindukan. Di sana, terdapat persinggahan terakhir Alm. Papa, yang mana menjadi tempat Papa di lahirkan pun menghirup udara dan hidup dari hasil buminya. Tempat yang dahulu hanya sebatas cerita dari Papa, yang sebelumnya tak pernah ku tahu seperti apa. Mungkinkah Alm. Papa ingin kembali ke rumahnya ketika jatuh sakit, ingin mengakhiri usianya di tanah leluhur yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) ini, agar aku memiliki alasan untuk terus kesini ketika rindu padanya mulai riuh, dan doa tak lagi mampu membasuhnya.

Tempat yang begitu cinta untuk tetap ku datangi setiap saat, terimakasih pada semesta yang selalu memberi ku ruang untuk tetap tumbuh dan merasakan hidup pada tanah yang menyimpan berjuta harapan atas alam nya. Terimakasih pada para leluhur yang kerap melindungi ku ketika tiba pada tanah yang paling cinta ini. Merasakan segala kebaikan pun cinta yang tumbuh dari tanah ini Karena, Papa selalu hidup di dalamnya. Pah, selain engkau terkubur di tanah leluhur yang penuh cinta ini, dalam hati ku dirimu tetaplah hidup dan tetap menjadi cinta yang tak pernah tergantikan. Beristirahatlah dengan tenang di sana, aku akan menyusul mu.

 

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts