Guru Aini

Mei 18, 2020


sumber;google

            GURU AINI, adalah salah satu novel yang  ku baca pada awal bulan April 2020, dengan sajian karakter tokoh serta kuatnya idealism sang guru Desi Istiqomah, membuatku semakin menaruh rasa kagum terhadap novel ini. Novel yang menghadirkan sosok seorang guru yang mungkin sulit ditemukan pada abad saat ini, membuat seluruh rangkaian cerita menjadi semakin haru nan pilu. Setelah lembar demi lembar yang membuatku sedih,bagahagia dan terkadang muncul kekecaan, semua menyatu dalam satu kata “Kagum” aku begitu mengagumi seluruh karakter dari para tokoh yang digambarkan oleh penulis, yang dikemas dalam kesederhanaan yang terasa begitu nyata. Dari dua tokoh yang paling menonjol pada novel ini yakni, Guru Desi Istiqomah dan muridnya Aini.

            Berawal dari seorang anak yang bernama Desi Istiqomah, berasal dari sebuah keluarga yang mampu namun, tetap memilih menjadi seorang guru Mate-matika, dikala sang ibu menginginkan ia masuk fakultas kedokteran. Desi begitu kukuh dengan pendiriannya, bahkan ia pun siap bila di tempatkan di belahan bumi Indonesia mana saja. Rasa cintanya terhadap Mate-matika berawal dari seorang guru Mate-matika yang ia kagumi, Guru Marlis. Guru Marlis, dahulu adalah ialah guru yang amat dikagumi oleh Desi. Berbekal otak yang amat cerdas, Desi melanjutkan studi DIII pendidikan Mate-matika, ia pun lulus dengan predikat cumlaude. Desi mendapatkan kesempatan untuk dapat memilih wilayah penempatan tugasnya, berkat ia menjadi lulusan terbaik pertama pada angkatannya tersebut. Namun, Desi sungguh enggan mengambil kesempatan tersebut, dengan dalih ia ingin memutuskan rantai kebiasaan akan keistimewaan yang di gunakan oleh para lulusan terbaik, dengan memilih tempat tugasnya kelak. Hingga akhirnya, Desi mengikuti undian untuk daerah penugasannya.

            Pada hari yang di tentukan, Desi bersama teman-teman seperjuangannya tiba pada hari penghujung, dimana ia dan teman-temannya mengambil undian, tempat penugasan masing-masing. Semua mata lesu dan jantung yang berdebar-debar penuh tanya, dimanakah mereka akan mendapatkan tempat tugasnya, di belahan bumi Indonesia manakah itu? Dan berbagai gejolak seputar tempat tugas, yang kelak menjadi amanah terbesar mereka, dalam mencerdaskan anak bangsa ini. Desi pun menerima undian dan membukanya, dengan tulisan pada undian tersebut Bagansiapiapi namun, seorang sahabatnya yang bernama Salamah mendapatkan tempat tugas yang lebih jauh di pelosok di sebuah pulau Tanjung Hampar, ia pun bersedih dengan melihat kondisi sahabatnya tersebut, hingga ia memilih, untuk menukarkannya dengan tempat tugas yang di dapatnya.

            Pulau Tanjung Hampar amatlah jauh, untuk sampai ke tempat tersebut tidaklah singkat, harus menempuh perjalanan selama 6 hari lamanya, dengan menaiki berbagai kendaraan umum mulai dari darat hingga laut. Hal tersebut tentu saja di tolak oleh Ibu Desi namun, Ayah Desi tetap mendukung, apapun yang menjadi keputusan putri kecilnya. Sekuat apapun ibu Desi menentang hal tersebut, pendirian Desi tak pernah bisa di patahkan. Akhirnya Desi pun berangkat, menempuh perjalanan yang tak mudah itu, terlebih ia belum pernah melakukan perjalanan selama itu.

            Namun apa boleh buat, dia ingin jujur pada dirinya sendiri, bahwa yang paling diinginkannya adalah menjadi guru matematika yang mengajar anak-anak miskin di pelosok. Dia tak mau menukar mimpinya itu, dia tak ingin menjadikan hal lain, seindah apa pun hal itu berjanji.” (halaman 7)

            Hal yang unik dari Guru Desi ia memiliki sumpah sepatu! Sebagai guru, dia memahami psikologi pendidikan bagi anak kampung. Kemiskinan dan kepercayaan diri yang rendah membuat mereka selalu merasa hal-hal akademik yang hebat akan selalu menjadi milik orang lain, milik orang kota, miliki anak-anak orang kaya di sekolah-sekolah hebat. Mereka selalu memerlukan contoh nyata, dari kalangan mereka sendiri. Dalam pemikiran Guru Desi, jika dia berhasil menemukan dan mendidik seorang anak Kampung Ketumbi menjadi genius matematika, maka anak-anak Kampung Ketumbi lainnya akan melihat bahwa mereka pun bisa meraih sesuatu yang selalu mereka bayangkan tak mungkin dapat mereka raih. Maka ini bukan melulu soal matematika, ini soal keberanian bermimpi. Untuk Desi berjanji pada dirinya sendiri, ia mengangkat semacam sumpah sepatu, bahwa dia akan terus memakai sepatu olahraga pemberian ayahnya sampai anak genius matematika itu ditemukan! (halaman 50).

            Guru Desi pernah menemukan seorang siswa cerdas yang jenius dibidang Mate-matika, ia bernama Debut Awaludin. Namun, sayangnya pemikiran jeniusnya yang menarik perhatian guru Desi tak berbanding lurus dengan keputusannya. Kehidupan yang dialaminya cukup membuatnya merasa dunia yang tak pernah mendapatkan keadilan. Mulai dari hingar binger politik, janji manis para elit politik, penguasa yang melindungi pencuri hingga para penegak hukum yang tak amanah. Hingga akhirnya, Debut Awaludin memilih untukbergabung dengan teman-temannya yang disebut dengan rombongan 9 (terdiri dari Dinah, Handai Tolani, Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, Nihe, dan Junilah).

            Pada saat yang bersamaan, ketika Debut memilih untuk bergabung dengan rombongan 9, sang guru Desi pun merasa kecewa yang begitu dalam, merasa kasihan akan ke-jeniusan Debut yang di sia-siakan. Mulai saat itu, guru Desi menjadi lebih sensitive, strict dan intense. Namun, dengan rasa kecewa yang didapatkan dari Debut Awaludin tersebut, tak membuat luntur idealismenya akan seorang murid jenius yang harus ia temukan kembali. Entah kapan, ia harus menemukannya, jika ia gagal menemukannya maka, selama itulah ia takkan mengganti sepatu yang berikan oleh Ayahnya sebelum ia pergi ke Pulau Tanjung Hampar ini. Sepatu tersebut memiliki sejarah panjang, dalam menemani guru Desi sepanjang perjalananke Pulau Tanjung Hampar. Seperti usianya, sepatu tersebut tak lagi baik-baik saja namun, guru Desi selalu memperbaikinya, untuk dapat digunakan kembali, entah berapa ratus kali ia terus memerbaiki bagian yang rusak.

            “Memintarkan seorang murid cukup untuk membuat batin seorang guru tertekan, namun murid yang sudah pintar dan mengabaikan kepintarannya, akan memukul perasaan seorang guru dengan kegetiran yang tak dapat dimengeri siapa pun.” (halaman 66)

            Hingga akhirnya, saat bersama sahabatnya, guru Laila pun bertanya pada guru Desi dalam sebuah percakapan mendalam, Tak pernahkah kau lelah menjadi idealis, Desi? “Lelah, Laila, tapi tanpa idealisme, aku akan lebih lelah. Tanpa idealisme, orang akan hidup dengan menipu dirinya sendiri, dan tak akan ada yang lebih lelah dari hidup menipu diri sendiri.” Pernahkah terpikir menekuni bidang lain selain matematika? “Aku bukan Desi, tanpa matematikaku.” (halaman 68)

            Seorang murid SMA yang bernama Nuraini binti Syafrudin atau yang biasa di sapa dengan Aini, seorang murid yang mengalami sebuah gejala psikosomatis ketika berhadapan dengan pelajaran Mate-matika, dimana ia akan mengalami sakit perut secara mendadak ketika menghadapi situasi tersebut. Ia amat takut dengan Mate-matika, bukan hanya karena ia tak mampu, lebih dari itu telah banyak kenangan menyakitkan akibat Mate-matika tersebut. Ia begitu bebal dengan Mate-matika, hingga orang-orang sekelilingnya merasa bahwa, amat sangat mustahil bagi si Aini untuk bisa belajar dan bersahabat dengan Mate-matika. Guru Desi member istilah bilangan biner pada nilai Mate-matika yang diperoleh Aini, sebab angka tersebut hanyalah 1 0 1 0, yang merupakan angka yang digunakan dalam bahasa komputer.

            Setiap ulangan jika soal yang tersaji sebanyak 10 soal, maka setiap soal diberi nilai 1, dan jika seluruhnya benar maka, diperoleh nilai 10. Sang Aini memiliki prestasi fenomenal yang mana, dari ke-10 soal tersebut, ia hanya mampu menjawab 1 soal saja, dan selebihnya hanya memperoleh nilai 0, atau tidak ada yang benar dari 10 soal tersebut. Itulah sederetan nilai yang sangat memalukan yang diperoleh dari Aini. Lalu bagaimana dengan menyontek? Sungguh gelap pemahaman Aini terhadap Matematika, bahkan untuk menyontek pun ia tak tahu caranya.

            Ai, matematika, mengapa kau sulit sekali? Mengapa aku tak kunjung mengerti? Dari manakah angka-angka ini bermula? Ke manakah mereka akan pergi? (halaman 171)

            Dengan keadaan Ayah Aini yang sakit, mengharuskan Aini untuk tetap berada dan merawat Ayah selama 7 bulan lamanya, hal ini membuat Aini absen selama 7 bulan, hingga membuatnya tak naik kelas. Pada saat itu, ketika Aini tak naik ke kelas XI bersama geng Aljabarianya, yaitu Enun dan Sa’diah, Aini masih harus mengulang di kelas X. Sedang penyakit Ayah Aini tak dapat disembuhkan oleh tabib dan sejejeran para dukun pun pengobatan alternatif, penyakit tersebut hanya dapat disembuhkan oleh pengobatan modern atau ilmu kedokteran, kata seorang tabib yang tengah mengobati Ayah Aini. Hal ini membuat pemikiran Aini berubah seketika, ia ingin menjadi Dokter, agar kelak dapat menyembuhkan penyakit Ayahnya.

            Hal tersulit yang harus di lalui oleh Aini, ialah belajar Matematika,bila ia hendak masuk ke Fakultas Kedokteran. Matematika telah mencatat sejarah buruk bersama Aini, sejak kelas 4 SD, nilai Matematika Aini berkisa 0 dan 1. Jalan satu-satunya, ia harus belajar Matematika dari Ibu Desi, guru Matematika yang tepat untuk mempelajari Matematika. Berangkat dari keraguan, ia pun akhirnya menebas rasa takut dan tak percaya dirinya. Aini yang memilih menjebloskan diri di kelas guru Desi, menuai banyak perhatian, tidak hanya geng Aljabaria bahkan hingga pak Tabah, wali kelas Aini. Lalu apakah guru Desi bisa mendapatkan metode yang tepat untuk membuat Aini bisa memahami Matematika dengan baik? Ketertinggalan yang terlampau jauh memang begitu nyata bagi Aini, nilai yang belum bergeser dari angka 1 membuat semuanya terasa begitu mustahil untuk di taklukan.

            Semangat akan cita-citanya menjadi seorang Dokter, membuat Aini terus belajar Matematika setiap harinya, hingga ia menuliskan “Aini Cita-cita Dokter” pada sepedanya, dan semua warga kampong tahu, siapa pemilik sepeada itu. Dengan semangat Aini saja tidak cukup membuatnya bisa masuk di kelas guru Desi. Guru Desi tidak serta merta menerima Aini dikelasnya, terlebih siswa-siswi dikelas guru Desi jauh lebih baik diatas kelas pak guru Tabah. Ini membuat Aini perlu berjuang terlebih dahulu, dan tentunya ini tidak mudah bagi Aini.

            Atas perjuangan Aini untuk masuk dikelas guru Desi membuatnya diterima di kelas guru Desi. Namun, apakah Aini akan bertahan dikelas guru Desi hingga akhir masa SMA nya? Dengan ketegasan serta sifat guru Desi yang tak seperti guru biasa pada umumnya. Apakah Aini akan lulus pada seleksi memasuki Fakultas kedokteran. Bagaimana perjalanan Aini dalam menebas ketidaktahuannya, akan Matematika yang memberinya angka biner tersebut? Temukan jawaban-jawaban tersebut dalam novel “Guru Aini” ini. Banyak hal yang akan memberi tahu kita tentang hidup dan tentang hal yang kita benci, terlebih bukan hanya tentang pelajaran yang tak mampu kita taklukan. Tapi, lebih dari itu, bagaimana cara kita menaklukannya.

           

           

 

           

You Might Also Like

0 comments

Google+

Like us on Facebook

Popular Posts